PEMBUKAAN PAMERAN

Tiko, mei 2009

Malam kala itu meriah sekali, Jhoni begitu gembira dan merasa sukses besar dalam menggelar pameran seni rupa bersama kelompok Bhatara-nya. Sejak jam 6 ia sudah standby untuk menyambut para tamu undangan dan yang tak diundang. Tamu-tamu mulai berdatangan, ia salami satu persatu dengan ucapan terimakasih atas kedatangan mereka. Sebagai balasan adalah ucapan selamat dari para tamu atas usahanya menyelenggarakan pameran tersebut. Memang sebagai satu kelompok, ia tidak sendirian dalam pamerannya itu ada 4 temannya yang lain, tetapi sebagai penggagas kelompok dan sekaligus ketuanya, terlihat sangat jelas naluri penonjolan diri atas teman-teman lainnya. Dengan baju safari celana jeans dan sepatu vantofel ia berjalan tegap dan penuh percaya diri, rambut cepak yang disisir rapi terlihat jelas ia tidak melupakan memakai minyak rambut. Tak lupa senyumannya itu yang begitu menggugah selera unuk beramah-tamah dengan siapa saja yang ditemuinya malam itu.

Langit terlihat cerah, bintang-bintang bertaburan. Udara terasa segar sekali, berita tentang sebuah kota yang rawan polusi udara dari knalpot gugur malam itu. Tidak mengherankan jika sebuah ruang pamer di ujung utara kota begitu ramai, karena pembukaan pameran seni rupa Bhatara adalah sebuah agenda penting bagi siapa saja yang mengaku penikmat, pemerhati, maupun para sporter kesenian di Yogyakarta. Mengapa begitu penting??, Jhoni memang termasuk seniman berkelas dengan karya yang berbobot. Apalagi dengan 4 temannya yang lain, Jh0han, Jefri, Juwita dan Jojon yang telah malang melintang dan ber jam terbang tinggi dalam even pameran skala lokal, nasional maupun internasional. Pendek kata mereka adalah para seniman top markotob dengan karya yang selalu ditunggu ummat kesenian di ibu kota Yogyakarta. Dalam pameran kelompok kali ini memang disiapkan dengan serius oleh pengelola galeri, karenanya 3 orang curator disiapkan sekaligus untuk menunjukkan prestise maupun bobot tema dan isu yang diangkat para seniman, Jhoni memang ketua, tetapi pemilik gallery itulah yang memegang kartu,

Seperti biasa, hari pembukaan pameran adalah sesuatu yang spesial seperti juga malam pertama, ada macam-macam alasan untuk berjumpa dengan malam pertama ini, ada yang karena penasaran, ada yang karena ramainya, ada yang karena reuninya, ada yang karena catalog gratisnya, ada yang karena suguhan hiburannya, ada yang karena makanan dan snack nya, dll. Malam itu aku berangkat karena undangan dari Juwita lewat sms yang dikirim malam sebelumnya. Juwita yang cantik jelita dengan lesung pipit di pipi kanannya. Sesampainya di sana tamu-tamu sudah memenuhi kursi undangan bahkan tak sedikit pula yang terpaksa berdiri, sedangkan aku harus berada di pinggir jalan raya, karena memang kondisinya tidak memunginkan untuk bisa masuk bahkan di halaman galerinya. Tak lama berselang aku berdiri Mas Bumi lewat dan kebetulan karena dia juga berangkat sendiri, kami kemudian ngobrol sambil merokok 234 sembari menungu pintu dibuka. Pembukaan itu memang special, karena bertepatan dengan ulang tahun galeri yang ke 6, oleh karena itu hiburan organ tunggal dari Sapto SE, Sarjana Electone dengan 5 biduannya mampu menjadi magnet tersendiri, karena kekocakan dan kemahirannya dalam memainkan organ, ditambah lagi sepasang pelawak kondang Jola&Joli dari imogiri yang ada-ada saja caranya untuk membuat seluruh hadirin tertawa terpingkal-pingkal.

Pembukaan pintu tak kunjung dimulai, sepertinya banyak juga yang merasakan sesuatu yang sama dengan aku. Curator masih saja berbaik hati merendahkan diri untuk meninggikan kualitas karya dan pameran tersebut, sedangkan seperti yang sudah kita ketahui sendiri, hampir semua yang hadir disana adalah orang yang bergelut, bersetubuh siang malam dengan karya seni. Para hadirinpun dengan besar hati dan sabar mendengarkan untaian hikmah kesenian dari beliau. Sungguh suatu gambaran peristiwa besar, kebesaran jiwa untuk saling menjaga, melindungi, dan menghargai yang menunjukkan sekali lagi jogja adalah kawah candradimuka bagi siapa saja yang ingin menjadi gatutkaca. Tidak di kampus-kampus keseniannya, di galeri-galeri, sanggar, kelompok, komunitas, jalanan, dinding-dinding , lorong, kampung dan sebagainya tetapi dengan cukup diam dan mengalir mengikuti arus saja.

Akhirnya pembukaan pintu pertama oleh seseorang yang sangat dihormati disana tiba juga. Ada dua titik yang dituju oleh hadirin, pintu ruang pameran dan samping gallery tempat dimana suguhan pembukaan berada. Bagi seniman debutan yang biasanya melewati masa menjadi snaker, malam itu adalah malam yang membahagiakan, karena suguhannya beragam, ada soto, pecel, dan snack yang beraneka warna ditambah jenis pilihan minuman dari panas sampai dingin, air putih sampai alcohol. Akupun menuju kepintu utama gallery, bukan karena sudah rindu melihat karya yang berkualitas, bukan pula karena telah pensiun menjadi snacker, tetapi kebetulan aku mengambil posisi berdiri lebih dekat dengan pintu gallery dari pada meja makanan.

Setelah masuk dan melihat beberapa karya aku melihat Juwita dan langsung saja kujabat tangannya sambil mengucapkan selamat berpameran. Wajahnya terlihat begitu berbinar-binar dengan baju warna birunya yang disorot sinar lampu yang benderang di ruang gallery, menjadikannya terlihat begitu anggun sekali malam itu. Ia pun mengucapkan terimakasih atas kedatanganku. Di depan karyanya ia mengajakku berfoto, kamipun memasang gaya untuk 2 kali jepretan, maklumlah, kami dulu pernah deket tetapi tak pernah jadian, karena memang saat itu ia sedang berpacaran dengan cowok lain yang berprofesi sebagai fotografer, dan kabarnya mereka telah putus sekarang. Alhamdulillah. Setelah itu tak kulupakan untuk memuji penampilannya yang sempurna malam itu, sebagai kredit point untuk sms atau telepon untuk malam-malam berikutnya.

Akupun kembali berjalan melewati karya satu-persatu, dengan sekali jalan dan sesekali berdiri agak lama untuk menikmati dan menemukan keunikan karya yang kupikir menarik. Hal yang sama dilakukan oleh hampir semua pengunjung disana. Satu putaran sudah cukup memenuhi kepala, apa itu, aku juga gak tahu. Dari luar suara kendang dan biduan beradu merdu, membuat langkahku tertuju kesitu, dan sedikit menikmati suguhan jasmani, pecel mediun dan minuman hangat. Lumayan sebagai pengganjal perut yang sedari tadi ingin diisi.
Di jogja, setiap ada acara pembukaan memang meriah dan penuh sesak penonton, bahkan ada salah satu gallery di sana yang sampai menerapkan sistem kloter, bagi penonton yang datang untuk dapat masuk ruang pamer dalam sebuah even seremonial opening. Begitulah semangat yang terlihat jelas dalam berapresiasi dari masyarakat khususnya sahabat-sahabat yang beremblem atau berkartu anggota komunitas seni sendiri. Entah mereka yang berada diluar lingkarannya. Tiba-tiba aku berdiri disitu dan tersadar semua rambutku telah memutih, kiri kananku mereka yang duduk disana, yang di samping situ, yang berjalan mondar mandir, yang sedang makan, yang memegang segelas teh, yang sedang menuang kopi, yang bergerombol dan tertawa terbahak-bahak, semua yang kukenal dan yang baru ketemui beberapa menit yang lalu, sahabat-sahabatku ada yang terliahat semakin kurus, ada yang semakin pendek dan gemuk, tetapi tulang pipi dan keriput wajah mereka, uban mereka,…. , dengan spontan kedua telapak tanganku mendarat dimuka, kurasakan kulit ini teras lembek dan keriput persis seperti lainnya. Aku tertegun diam dan sunyi, sekejap terasa angin lembut lewati sukma. Dan kedua telapak tanganku terasa basah penuh dengan air mata.
Tepukan dipundak menyadarkan lamunanku, “oh juwita..,” diapun terlihat sudah tua, tetapi kecantikannya tak memudar, bahkan semakin bersinar.
“Ayo mas, sudah malam, kita pulang saja, kasihan anak-anak”
Tangannya merengkuh lenganku dengan manja, sambil meririk mataku memerhatikan sekejap sambil berujar,
“Kenapa matanya merah?” Kupandangi dengan dalam bola matanya, sambil kemudian menggeleng-geleng pelan sembari tersenyum kecil.
Kamipun berjalan keluar, dan tentu saja bergandengan tangan. Sambil melangkah ketengok sekali lagi kebelakang. Di atas panggung yang tak begitu tinggi, tiga biduan masih bergoyang.
Dalam hatiku bertanya: aneh, kok mereka masih tetep muda?.




















Becareful...becareful, 110x50cm,2006 acrilik oncanvas c.jpg

Pohon Cintaku Berbuah Sakit



120x140 cm, 2003.jpg