SUARA MISTERIUS

Tiga orang anak sedang menikmati rasa lapar. Mereka mencoba mencari tahu apa yang tersembunyi dari rasa lapar mereka. Menurut kakek mereka, suara yang terdengar dari dalam adalah suara kejujuran. Akhirnya merekapun kompak diam membisu, menunggu suara kejujuran yang akan keluar dari dalam.

Tak lama kemudian dari perut anak yang pertama tiba-tiba mengeluarkan bunyi “kukkuruyuuuk…kuruyuuuk…”
dengan kecut anak itupun tersenyum bangga. Sambil bercerita bohong, bahwa ia kemarin habis maka dua potong paha ayam besar.
“ha.ha.ha.ha…” suara tawa dari mereka meledak memulai sore yang indah.

Beberapa detik menunggu,
Menyusul kemudian dari dalam perut anak yang kedua terdengar suara aneh, “krrk..krrk..k..kurruyuuuk… breeek..greeg” gelak tawapun mengiringi suara aneh tersebut. Anak yang kedua ini pun tersenyum dan penuh percaya diri bercerita
“tiga hari yang lalu, aku makan satu blek kerupuk dan dua kepala ayam dan tiga tusuk sate brutu, ha.ha.ha…”
tawa dari anak kedua ini pun disambung dua kawan lainnya. Sore itu semakin ceria dibuatnya.

Lalu mereka bertiga kembali membisu sambil menanti apa yang akan diungkapkan dari dalam perut mereka. Lama ditunggu tak juga terdengar suara. Anak yang pertama dan kedua mulai gelisah. Mereka mencemaskas temannya yang ketiga. Mereka pun bertanya dalam hati, jangan-jangan temannya yang ketiga sudah lama tidak makan. Muncul rasa iba di hati mereka, namun merekapun tetap diam membisu.
Tiba-tiba, suara yang sejak tadi dinanti-nantikan merekapun mulai terdengar, tapi sangat pelan…
“krrk..kr...rr...tekkekkk….tokkeeek….keeek….keek…”
anak yang ketigapun tersenyum lebar sambil berdiri gagah, bercerita dengan suara keras penuh bangga:

“kemarin aku habis makan tokek bakar tiga ekor!!”
Ha.ha.ha.ha…. Ha.ha.ha.ha….
Ha.ha.ha.ha…. Ha.ha.ha.ha….
Ledak tawapun lepas dari mulut lapar mereka.


Tiko, maret, 2009

MASUK ANGIN

Pancaroba telah tiba, dari musim panas menuju musim hujan
Udara, angin, panas, hujan berganti tak beraturan
Serangga-serangga mulai berterbangan, tandai wabah penyakit yang hendak menyerang
Kanvasku malam itu kedinginan,
Batuk-batuk dan meriang
Ia bersandar lemas di sudut ruangan
……….
Semalam ia tidak bisa tidur
Gelisah dan terlihat pucat
Memikirkan teman-temannya,
yang kabarnya telah tersesat dan salah jalan
rintihannya kala itu membuatku pusing, …
aku gak tahan mendengarnya
lalu aku mendatanginya

Kamu itu gak usah mikir macem-macem kataku.
Mereka disana senang dan gembira,
bahkan bangga dengan keberadaannya,
toh kamu juga lihat sendiri,
make-up berwarna cerah ceria selalu di wajahnya.
Sudahlah kamu jangan mikir macem-macem,
toh kamu juga lagi sakit.
Apalagi ??
Kamu juga mikirin teman-temanmu yang juga lagi opname?
Si Kolase, Si Abstrak, Si Dekoratif, Si Naif
dan siapa lagi itu nama-nama temanmu itu.
santai sajalah,
Tuan-tuannya sudah mulai tahu kok,
Itu semua bukan tujuan
Melainkan make-up nya, riasan wajahnya,
ekspresi mukanya
Untuk pentas pertunjukan yang lebih luas,
lebih jauh dan hiburan kemanusiaan
human values.
Oalah,…
Aku tahu koq sebenarnya keluhanmu
Kamu gerah to? Masuk angin to?
Yaudah
Sini tak kerokin lagi
Tak bikin merah

Maafin aku yah
Seminggu yang lalu aku khilaf
Aku jual diri

Tiko, 18 maret 2009

Ataukah malu dengan muka sendiri??

Terlalu banyak kami berdusta
Terlalu sering kami berpaling
Kamipun berpura menyamar
Dalam kebodohan, melata seperti binatang
Mata kami lirikkan kanan-kiri
Kelangit maupun bumi
Oh betapa bodohnya kami…
Kami malu, malu dan malu
Bagaimana mungkin kami bersembunyi
Bagaimana mungkin kami menyamar,
Kami sadar tak bisa lagi sembunyi
Tak mungkin lagi menyamar
Yang pasti kami sangat malu
Menatap diri sendiri
Mungkinkah kami mampu
Menatap wajahmu

Ampuni kami…

Tiko, 2008

TIGA KALI LIPAT

Joko, seorang pelukis yang sama sekali gak top ikut merasakan imbas boom seni lukis sewon. Kawan-kawan seangkatannya sudah banyak yang “melejit”, termasuk juga pada harga karya mereka. Mobil bukan lagi barang mewah, bayar kontrakan tidak lagi jadi masalah, kalau perlu bayarnya dua tahun dipakainya setahun, bahkan kalau pemilik kontrakan minta utangan untuk alasan ini-itu, langsung mereka kabulkan tanpa menaruh rasa curiga. Itulah bukti rasa dermawan yang dimiliki teman-temannya. Pelukis tadi oleh kawan-kawannya diprasangkai baik, di tuduh turut mencicipi “kue manis” tersebut, sepertinya gak adil juga kalau sebenarnya seperti biasanya hari-harinya di jalani dengan puasa. Dalam lamunan kegelisahannya ia mencoba mencermati “kesalahan strategi” dalam memenejemeni karyanya selama ini. Ia menaruh curiga dalam hal pemberian nominal harga lukisannya, karena dalam pengalamannya ia memberikan harga yang murah untuk karyanya, bahkan ia sesekali menurunkan harga itu, tetapi masih juga gak ada yang melirik. Padahal seperti yang ia lihat sendiri “semakin tinggi harga karya semakin gagah karya itu di pandangan mata mereka”, dengan kata lain kegagahan karya terletak pada harganya, akhirnya ia pun berspekulasi menaikkan harga karyanya 3 sampai 4 kali lipat dari harga sebelumnya. Akhirnya betapa mengejutkan, tanpa disangka-sangka para kolektor, kolekdol, curator, kritikus, di negeri itu riuh rendah mengerubungi dan menjilati karya yang aneh tersebut.

Tiko, mei 2008

CANGGIH SEPERTI TAI

Suatu sore tamparan datang di muka kami.
Kau dedikasikan karyamu untuk siapa?
Apa yang kau lukis?
Masyarakat bawah?

“Siapa tahu dengan lukisanku ini kolektor-kolektor bisa tergerak untuk lebih merasakan himpitan hidup orang-orang kecil”
“Ah, kau terlalu pandai untuk memutar balikkan kata, jika engkau memang berempati pada mereka, mampu merasakan yang mereka alami, turunlah dan carilah solusi bagi persoalan mereka, jangan kau eksploitir dengan bentuk yang lain, jangan Cuma memandang mereka sebagai objek artistic karyamu”
“Memang begitulah tugas seniman, urusan moral sudah ada bagiannya sendiri. Disana ada banyak ahli agama, ahli sosial dan ahli-ahli lainnya yang lebih tepat”
“Pakai jubah kesenianmu,… aku muak dengan ide-ide besarmu, aku muak dengan ocehan kosongmu.
Kecanggihan berpikirmu seperti tai”

Tiko, pertengahan tahun 2008