kartika tikoo



Terjaga,
acrilic on canvas, 110 x 130 cm, 2007

Kartika Prawiro, Baju Kebesaran, 2009




tiko, 150 x 120 cm, AOC, 2009

RESTU

Kuas datang kedalam lamunan gelisahku, "apa kabar mas,.. " sapanya, akupun cuma melirikkan bola mataku, menyambut dengan dingin sapaannya. Rasa-rasanya aku ogah untuk mengomentarinya, jangankan berkomentar menatap dengan sungguh-sungguh pun terasa jengah.
Mungkin terlihat janggal dalam pandanganmu, bahkan untuk kami sendiri. Mungkin dia juga merasa muak dengan tingkahku. Kata mereka yang mengutip dari bermacam jenis referensi ramalan entah itu weton, astrologi, tarot, garis tangan, dan lain-lain ditulis kami berjodoh?? (entah), tapi aku tak ambil pusing, karena memang selama ini kami “dengan prinsip sama-sama senang” tanpa ikatan telah “jalan bareng” ya kira-kira selama 12 tahun tanpa tuntutan yang berlebihan dari masing-masing, tetapi sebagai seorang lelaki, aku merasa selalu harus bertanggung jawab kepadanya, oleh karenanya perlakuan baik sebagaimana mestinya selalu ku berikan, dan selama itu pula, dia pun menerimaku apa adanya. Dan kami berjalan menyusuri waktu dengan menggenggam kalimat sakti: Masa Bodo Apa Kata Orang. Seiring waktu berlalu, musim berganti, hingga tiba juga saatnya untuk kami, mempertanyakan kembali apa yang telah kami perbuat dan hasilkan selama ini… tentang keyakinan, keindahan, cita-cita, mimpi, dan kalimat-kalimat sakti hingga kedekatan hubungan aneh ini.
Apakah ini bentuk sebuah penghianatan? Apakah ini sejenis tehnik kerok dan tusukan dari belakang? Atau jangan-jangan sebuah adu domba pemainan harga pihak ketiga? Ah… sepertinya tidak, selama ini dia dan aku tidak ada masalah dengan parau sumbangnya keheningan waktu…
Akupun kembali merunduk merenung, “tidak…, memang tidak bisa dibiarkan berlarut-larut.”

Aku tak bisa terus bersikap seperti ini, seperti sikap wanita yang hanyut dalam hayal minta dirajuk kembali oleh kekasihnya yang telah pergi. Aku seorang lelaki, lelaki sejati, lelaki tulen… pejantan dan tangguh. Lalu, ku pegangi erat gagangnya… "aku akan membawamu kepada mereka, kepada siapa saja."
"Aku tahu kita hidup di dunia yang aneh, dunia yang harus ada legalitas, baju, kopiah, kursi dan sendal. cinta harus mempunyai ijin mereka, cinta harus ada restu mereka."
"Oleh karena itu, akan kubuktikan kembali kembali untukmu… untukku, apakah restu dan surat ijin itu bisa diberikan mereka kepadaku kepadamu kepada kita."
"Kalau mereka memberikannya, tak jadi masalah untuk kita kembali bersama, tetapi jikalau masih juga tak kunjung tiba, aku berjanji,
berjanji membawamu serta ke jalan dan gang yang kebanyakan dari mereka berpaling darinya.

Tiko, September, 2009

DILEMPAR BATU

Kadang ku dilempari batu. Entah oleh siapa dan dari mana. Kusangka dari arah semak-semak di kiri dan kananku yang begitu rungkut. Atau dari atas pohon-pohon besar di depan sana atau di belakang tadi, tapi aku tak ambil peduli, aku terus berjalan.
Setelah sampai di jalan panjang itu, kulihat rumah besar, megah dengan halaman luas. Limapuluh macam bunga ditanam disana. Taman dan air mancur dan sebuah kolam yang penuh dengan ikan koi ada disana. Beberapa karya instalasi dan patung menambah semarak suasana.
Kadang aku mendapati rumah itu sangat ramai karena orang-orang berdatangan kesana. Biasanya hal tersebut terjadi 2-3 kali dalam sebulan. Disana berlangsung acara yang meriah dengan orkes dan gambus dengan biduan yang aduhai bahenolnya, dengan setelan celana pendek hampir ke pangkal paha dan baju ketat menggoyang mereka yang ada di sana. Kadang juga musik-musik cadas menderu dan meraung menghentak jantungku walaupun aku hanya sekedar lewat disana, di jalan depan rumah besar itu. Kata mereka di dalam gedung tersebut dipajang lukisan-lukisan yang besar, besar ukurannya, besar pelukisnya, dan besar-besar yang lain.
Pernah aku sesekali berhenti dan menyapa beberapa orang disana, mereka sangat ranah dan bersahabat. Padahal aku belum belum pernah bertemu mereka, tetapi mereka memperlakukanku seperti sahabat dekat, penuh kasih sayang. Mereka mengajakku ke dalam, tetapi aku menolaknya dengan halus. Aku takut sebenarnya takut dan malu, takut tidak bias membalas kebaikan mereka dan malu jika mengotori lantai dan kursi dan mejanya. Akupun mengucapkan terimakasih, dan berharap bertemu dengan kebaikan seperti yang ditunjukkan mereka di perjalananku selanjutnya. Tidak lupa aku jabat tangan mereka dengan mesra dan untaian kata mutiara salam kuberikan. Dan akupun kembali melangkahkan kaki, baru beberapa langkah seperti yang sudah-sudah beberapa batu menimpuk tubuh dan kepalaku entah dari mana dan siapa.
Kanjeng nabi, ketika engkau dilempari batu tidak pernah engkau marah dan membalasnya, bahkan engkau mendoakan untuk kebaikan mereka. Oleh karena itu, untuk menguatkan dan menghibur diriku, ijinkan aku untuk berjalan di belakangmu.

Tiko, feb,2009

Meniti Kesadaran, 2007



100X150cm
aoc, 2007

Makan Besar, 2009

MARTABAT BUNGLON, 2008-2009

MARTABAT BUNGLON, 2008-2009
Membunglon merupakan sebuah perwujudan kepekaan, sebuah ilmu kelas tinggi, yang hanya mampu dimiliki oleh orang-orang yang berjiwa besar.
Manusia harus belajar kepada bunglon untuk tetap selalu selaras dengan keadaan kiri dan kanannya, menyambut, menghadapi perubahan dengan gagah apapun juga yang akan terjadi. Gagah jangan kau sempitkan artinya pada mereka yang berteriak dan mencak-mencak!, tapi substansi gagah adalah berani menghadapi sesuatu, berani berubah dari kondisi satu ke kondisi yang lain. Perubahan yang diajarkan bunglon adalah perubahan diri dari dalam tanpa menyakiti orang lain. Membunglon tidak berarti plin-plan tanpa karakter, justru kesediaan untuk selalu meniadakan egoisme diri demi harnonisasi, dengan cara lebur terhadap keadaan sekitarnya.
Bukankah kita tengah beramai-ramai menyemarakkan mimpi itu untuk mendapatkan maqom mulia yang bernama martabat bunglon.
BAJU KEBESARAN DAN PILIHAN MEDAN RENANG, 2009
Untuk apa ragu-ragu lagi??, wong itu hanya sebuah baju.. gak usah banyak dipikir. Di sana ombaknya besar sekali, siapa yang akan menolongmu??
….;; hayo siapa??
BEBEK JAGOAN DAN PENGGEMBALA TENGIK, 2009
Berenang disini saja, sambil menikmati suguhan ikan dari para penggembala tengik. Disana ikan- disini ikan, kan sama-sama ikan.
Selamat untukmu kawan, kami akan selalu belajar kepadamu.
Tiko, juni 2009

GAMBAR BENTUK

Tiko, Juni 2009
Kali ini Mr.Dosenku membawakan obyek yang tak biasa. Ketika membuka kelas dengan gayanya yang cengengesan menampilkan sebuah kontradiksi dengan karakter wajahnya yang mempunyai raut muka serius yang akhirnya selalu membuat kami kangen dan memaafkan beliau. Ia masuk kedalam kelas dengan bersiul-siul kecil. Dikempitnya tiga pasang obyek yang bentuknya mirip sebuah boneka, Masing-masing obyek memiliki warna dasar yang berbeda. Kemudian dengan gerakan ekspresif, ia melemparkan tiga pasang obyek itu ke atas meja di depan kelas. Gedobraak….!!, kami kaget, kemudian sambil berpandang-pandangan satu sama laen, spontan bahu kami gerakkan ke atas dengan mengepyarkan jemari dan telapak tangan ke atas seperti ketika dalam posisi berdoa, alis kamipun bergerak-gerak naik turun sebagai bahasa tubuh kami, yang menandakan ketidak tahuan atas maksud dan tinggkah polah Mr.Dosen. bola mata kami saling lirik, melemparkan pertanyaan-pertanyaan diantara kami.
Mr.Dosen keluar lagi, sepertinya mengambil sesuatu yang masih ketinggalan. Benar sekali, tak lama kemudian ia kembali dengan membawa sebuah kotak besar, semacam pustek berwarna hijau. Ia taruh diatas meja di depan kelas, kemudian memasukkan ketiga pasang obyek itu kedalam kotak. Ia memutar kotak itu, yang ternyata disalah satu sisinya berbahan seperti kaca yang tembus pandang. Mr.Dosen menyuruh kami mengamati dengan teliti, menemukan keunikan, karakteristik dan keindahan dari ketiga obyek itu, kemudian memerintahkan kami untuk mengekspresiakan apa yang kami lihat tadi keatas selembar kertas yang ada materai dan stempel bergambar burung diatasnya yang sudah diberikannya diawal tadi. Setelah memberikan tugas kepada kami, ia pun pergi lagi entah kemana.
Pelajaran gambar bentuk yang aneh pikirku…
Kami pun mulai mengamati secara detail kedalam kotak itu, kepada ketiga pasang obyek tersebut. Istilah kerennya berkonsentrasi dan fokus. Lho, lho-lho..!, kami semua kaget, ternyata ketiga pasang obyek itu bukan sembarang obyek!. Pernah nonton film CR7 nya Steven Chow, boneka dari luar angkasa yang hidup dan berinteraksi itu?, ternyata ketiga pasang obyek itu memiliki karakter yang hampir mirip, karena bisa diajak berinteraksi dan bisa berinteraksi dengan sesamanya. Mula-mula mereka bernyanyi bersama. Kemudian berdeklamasi dan membaca puisi. Dilanjutkan berdansa dan saling bertukar pasangan. Sungguh lucu dan benar-benar lucu, kami malah jadi asyik melihat tingkah polah mereka.
Ketiga pasang obyek itu kemudian bermain catur. Catur dengan metode permainan monopoli, yang memakai uang-uangan, aturan-aturanan, pembangunan-pembangunanan, pajak-pajakan, penjara-penjaranan, dsb. Asyik banget mereka dengan permainannya. Mereka mulai saling ngeles satu sama lain, saling sindir, saling buka aib dengan semangat kompetisi. Ada-ada saja ulah mereka. Kami sepertinya tersihir oleh tingkah polah lucu mereka, sehingga lupa akan tugas yang diberikan Mr.Dosen kepada kami.
Tibalah waktu Mr.Dosen datang lagi ke kelas, ternyata jatah jam untuk menggambar yang diberikan kepada kami telah habis. Ia memerintahkan untuk mengumpulkan hasil karya kami, apapun yang telah dihasilkan. Kami pun kembali kebingungan, karena tak ada satu pun dari kami yang sudah menggambar sesuai dengan perintah tugas yang diberikan Mr.Dosen.
Ngapain kalian bingung, kumpulkan saja kertas kalian, masukkan sekalian di dalam kotak itu katanya. Nanti tolong bawakan sekalian kotak itu ke ruangan saya.
Sesudah mengatakan itu, Mr.Dosen membalikkan badan dan keluar kelas dengan cepat. Sekali lagi kami pun saling berpandangan???, untuk beberapa saat tak ada yang keluar dari mulut kami selain bau mulut, barisan gigi dan deru nafas.
Salah satu kawanku berkata lantang: Bagaimana kawan, masukkan kertas gak???
tak ada jawaban, tak ada sesuatu kecuali suara itu. Hahahahahahaha……

PEMBUKAAN PAMERAN

Tiko, mei 2009

Malam kala itu meriah sekali, Jhoni begitu gembira dan merasa sukses besar dalam menggelar pameran seni rupa bersama kelompok Bhatara-nya. Sejak jam 6 ia sudah standby untuk menyambut para tamu undangan dan yang tak diundang. Tamu-tamu mulai berdatangan, ia salami satu persatu dengan ucapan terimakasih atas kedatangan mereka. Sebagai balasan adalah ucapan selamat dari para tamu atas usahanya menyelenggarakan pameran tersebut. Memang sebagai satu kelompok, ia tidak sendirian dalam pamerannya itu ada 4 temannya yang lain, tetapi sebagai penggagas kelompok dan sekaligus ketuanya, terlihat sangat jelas naluri penonjolan diri atas teman-teman lainnya. Dengan baju safari celana jeans dan sepatu vantofel ia berjalan tegap dan penuh percaya diri, rambut cepak yang disisir rapi terlihat jelas ia tidak melupakan memakai minyak rambut. Tak lupa senyumannya itu yang begitu menggugah selera unuk beramah-tamah dengan siapa saja yang ditemuinya malam itu.

Langit terlihat cerah, bintang-bintang bertaburan. Udara terasa segar sekali, berita tentang sebuah kota yang rawan polusi udara dari knalpot gugur malam itu. Tidak mengherankan jika sebuah ruang pamer di ujung utara kota begitu ramai, karena pembukaan pameran seni rupa Bhatara adalah sebuah agenda penting bagi siapa saja yang mengaku penikmat, pemerhati, maupun para sporter kesenian di Yogyakarta. Mengapa begitu penting??, Jhoni memang termasuk seniman berkelas dengan karya yang berbobot. Apalagi dengan 4 temannya yang lain, Jh0han, Jefri, Juwita dan Jojon yang telah malang melintang dan ber jam terbang tinggi dalam even pameran skala lokal, nasional maupun internasional. Pendek kata mereka adalah para seniman top markotob dengan karya yang selalu ditunggu ummat kesenian di ibu kota Yogyakarta. Dalam pameran kelompok kali ini memang disiapkan dengan serius oleh pengelola galeri, karenanya 3 orang curator disiapkan sekaligus untuk menunjukkan prestise maupun bobot tema dan isu yang diangkat para seniman, Jhoni memang ketua, tetapi pemilik gallery itulah yang memegang kartu,

Seperti biasa, hari pembukaan pameran adalah sesuatu yang spesial seperti juga malam pertama, ada macam-macam alasan untuk berjumpa dengan malam pertama ini, ada yang karena penasaran, ada yang karena ramainya, ada yang karena reuninya, ada yang karena catalog gratisnya, ada yang karena suguhan hiburannya, ada yang karena makanan dan snack nya, dll. Malam itu aku berangkat karena undangan dari Juwita lewat sms yang dikirim malam sebelumnya. Juwita yang cantik jelita dengan lesung pipit di pipi kanannya. Sesampainya di sana tamu-tamu sudah memenuhi kursi undangan bahkan tak sedikit pula yang terpaksa berdiri, sedangkan aku harus berada di pinggir jalan raya, karena memang kondisinya tidak memunginkan untuk bisa masuk bahkan di halaman galerinya. Tak lama berselang aku berdiri Mas Bumi lewat dan kebetulan karena dia juga berangkat sendiri, kami kemudian ngobrol sambil merokok 234 sembari menungu pintu dibuka. Pembukaan itu memang special, karena bertepatan dengan ulang tahun galeri yang ke 6, oleh karena itu hiburan organ tunggal dari Sapto SE, Sarjana Electone dengan 5 biduannya mampu menjadi magnet tersendiri, karena kekocakan dan kemahirannya dalam memainkan organ, ditambah lagi sepasang pelawak kondang Jola&Joli dari imogiri yang ada-ada saja caranya untuk membuat seluruh hadirin tertawa terpingkal-pingkal.

Pembukaan pintu tak kunjung dimulai, sepertinya banyak juga yang merasakan sesuatu yang sama dengan aku. Curator masih saja berbaik hati merendahkan diri untuk meninggikan kualitas karya dan pameran tersebut, sedangkan seperti yang sudah kita ketahui sendiri, hampir semua yang hadir disana adalah orang yang bergelut, bersetubuh siang malam dengan karya seni. Para hadirinpun dengan besar hati dan sabar mendengarkan untaian hikmah kesenian dari beliau. Sungguh suatu gambaran peristiwa besar, kebesaran jiwa untuk saling menjaga, melindungi, dan menghargai yang menunjukkan sekali lagi jogja adalah kawah candradimuka bagi siapa saja yang ingin menjadi gatutkaca. Tidak di kampus-kampus keseniannya, di galeri-galeri, sanggar, kelompok, komunitas, jalanan, dinding-dinding , lorong, kampung dan sebagainya tetapi dengan cukup diam dan mengalir mengikuti arus saja.

Akhirnya pembukaan pintu pertama oleh seseorang yang sangat dihormati disana tiba juga. Ada dua titik yang dituju oleh hadirin, pintu ruang pameran dan samping gallery tempat dimana suguhan pembukaan berada. Bagi seniman debutan yang biasanya melewati masa menjadi snaker, malam itu adalah malam yang membahagiakan, karena suguhannya beragam, ada soto, pecel, dan snack yang beraneka warna ditambah jenis pilihan minuman dari panas sampai dingin, air putih sampai alcohol. Akupun menuju kepintu utama gallery, bukan karena sudah rindu melihat karya yang berkualitas, bukan pula karena telah pensiun menjadi snacker, tetapi kebetulan aku mengambil posisi berdiri lebih dekat dengan pintu gallery dari pada meja makanan.

Setelah masuk dan melihat beberapa karya aku melihat Juwita dan langsung saja kujabat tangannya sambil mengucapkan selamat berpameran. Wajahnya terlihat begitu berbinar-binar dengan baju warna birunya yang disorot sinar lampu yang benderang di ruang gallery, menjadikannya terlihat begitu anggun sekali malam itu. Ia pun mengucapkan terimakasih atas kedatanganku. Di depan karyanya ia mengajakku berfoto, kamipun memasang gaya untuk 2 kali jepretan, maklumlah, kami dulu pernah deket tetapi tak pernah jadian, karena memang saat itu ia sedang berpacaran dengan cowok lain yang berprofesi sebagai fotografer, dan kabarnya mereka telah putus sekarang. Alhamdulillah. Setelah itu tak kulupakan untuk memuji penampilannya yang sempurna malam itu, sebagai kredit point untuk sms atau telepon untuk malam-malam berikutnya.

Akupun kembali berjalan melewati karya satu-persatu, dengan sekali jalan dan sesekali berdiri agak lama untuk menikmati dan menemukan keunikan karya yang kupikir menarik. Hal yang sama dilakukan oleh hampir semua pengunjung disana. Satu putaran sudah cukup memenuhi kepala, apa itu, aku juga gak tahu. Dari luar suara kendang dan biduan beradu merdu, membuat langkahku tertuju kesitu, dan sedikit menikmati suguhan jasmani, pecel mediun dan minuman hangat. Lumayan sebagai pengganjal perut yang sedari tadi ingin diisi.
Di jogja, setiap ada acara pembukaan memang meriah dan penuh sesak penonton, bahkan ada salah satu gallery di sana yang sampai menerapkan sistem kloter, bagi penonton yang datang untuk dapat masuk ruang pamer dalam sebuah even seremonial opening. Begitulah semangat yang terlihat jelas dalam berapresiasi dari masyarakat khususnya sahabat-sahabat yang beremblem atau berkartu anggota komunitas seni sendiri. Entah mereka yang berada diluar lingkarannya. Tiba-tiba aku berdiri disitu dan tersadar semua rambutku telah memutih, kiri kananku mereka yang duduk disana, yang di samping situ, yang berjalan mondar mandir, yang sedang makan, yang memegang segelas teh, yang sedang menuang kopi, yang bergerombol dan tertawa terbahak-bahak, semua yang kukenal dan yang baru ketemui beberapa menit yang lalu, sahabat-sahabatku ada yang terliahat semakin kurus, ada yang semakin pendek dan gemuk, tetapi tulang pipi dan keriput wajah mereka, uban mereka,…. , dengan spontan kedua telapak tanganku mendarat dimuka, kurasakan kulit ini teras lembek dan keriput persis seperti lainnya. Aku tertegun diam dan sunyi, sekejap terasa angin lembut lewati sukma. Dan kedua telapak tanganku terasa basah penuh dengan air mata.
Tepukan dipundak menyadarkan lamunanku, “oh juwita..,” diapun terlihat sudah tua, tetapi kecantikannya tak memudar, bahkan semakin bersinar.
“Ayo mas, sudah malam, kita pulang saja, kasihan anak-anak”
Tangannya merengkuh lenganku dengan manja, sambil meririk mataku memerhatikan sekejap sambil berujar,
“Kenapa matanya merah?” Kupandangi dengan dalam bola matanya, sambil kemudian menggeleng-geleng pelan sembari tersenyum kecil.
Kamipun berjalan keluar, dan tentu saja bergandengan tangan. Sambil melangkah ketengok sekali lagi kebelakang. Di atas panggung yang tak begitu tinggi, tiga biduan masih bergoyang.
Dalam hatiku bertanya: aneh, kok mereka masih tetep muda?.




















Becareful...becareful, 110x50cm,2006 acrilik oncanvas c.jpg

Pohon Cintaku Berbuah Sakit



120x140 cm, 2003.jpg

TERLAMBAT TERBIT

Bolehlah kau terangkan ini itu
Kau tunjukkan langkah efektif
Analisa masalah, kemungkinan solusi
Hingga trik-tip menghadapinya

Oke, aku sediakan kuping untuk mulutmu
Ku gelar jiwa samudra untuk badai cita-citamu
Dan sekotak penghapus serta tipexJ
ikalau kau salah menuliskan untukku

Lho, apa-apa an ini kok jadi lesu!?
Jadi apa yag harus kutulis hari ini?
Akibat suplemen kadaluarsa?
Atau maaf, …putus asa?

Bualan teori kadang perlu
Tamparan pun perlu
Tapi yang belum terlihat dipagi ini
Terbitnya matahari dari jiwamu

Tiko, April 2009
Pacarnya Rupa,sudahkah engkau berkarya?

Nyatanya sepi-sepi saja, emang berapa mata yang mau melihatmu?
Jangan-jangan kamu palsu, hingga orang tak mau melihatmu.
Atau jangan-jangan kamu begitu asli,
sementara mereka yang diluar sana super palsu dan maaf,
mungkin matane mereka cuma mampu memandang yang palsu?

Yang terjadi kan kau menggelarnya disana,
Kau pindah disini,
Kau geser lagi disana,
Oalah-oalah
Sibuk sekali engkau dengan permainanmu itu,
Penting enggak sih?

Bisa enggak ya, umpama setiap kilatan bayang mata mereka
Memancar senyum indah warnamu.
Cembung bola mata mereka
Memantul balance komposisimu.
Dan setiap fokus pandangannya adalah totalitas ekspresi estetikmu
Hingga ketika mereka menangkap ujaranmu,
Menikmati serasa memilikimu dan sesuatu itu.
Bahkan jikalau mata terpejam dan waktu berlalu,
Engkau mampu berada dalam kegelapannya
Dengan terangnya keelokannmu
Syukur engkau mampu menemaninya
Dalam setiap gerak lakunya
Rupa, ijinkan aku disini
Merindumu.

Tiko, 2 April 2009

Hallo seni rupa

Hallo seni rupa
Apa kabarmu di sana
Ngambek yah
Kok diem terus sich
Mbok ya bohong
Aku pingin kau gombalin lagi

Hallo seni rupa
Cakram mu luar biasa
Emang beli dimana
Bagi untukku juga

Hallo seni rupa
Rupa-rupanya
Wajahmu memerah juga
Krasa apa pura-pura

Hallo seni rupa
Aku menantimu
dimana-mana

tiko, maret 2009

Meniti Kesadaran













Meniti Kesadaran
Acrilik on Canvas
110x150cm
2007
Tetesan embun menitikDiatas daun hijau,
Tik,…
Tik,…
Jatuhan lembut perlahan mengangkat jiwa,
Jiwa yang perlahan tersenyum
Menatap kemewahan kemurnian kalbu
Kalau saja detikan dinding dapat direkayasa,
Semua jiwa akan menarik raga yang sedang‘merasa’
Tapi tak mungkin semua

Anyes, 21 maret 2009
Hidup itu seperti deretan tuts piano
Yang putih kebahagiaan, yang hitam kesedihan…
Tapi karena tangan tuhan yang memainkannya untuk kita,
Yang hitam pun dapat mengalunkan musik yang indah…
Selamat malam

Anyes, 21 maret 2009
Angin berhembus perlahan
Semilir lembut menyetubuhi raga
Merasuk dalam sukmatapi terpental,
terbanting lara
Kenikmatan pukulan angin itu
membekas
dan
terbekas

Anyes, maret 2009

Wilcimo Widodoro

Bulan ini aku sangat gembira, pasalnya ada teman yang bersedia menyumbangkan karya2nya untuk turut bergembira bersama menanam bunga, dan bermain air (keceh) yang tanggapan dalam sms nya: “Wijik neng kolam? Wah ojo, kapiken, wijik ning kalen wae karo dolanan jangkrik hehehe…” (cuci kaki di kolam? Wah jangan, itu terlalu bagus, cuci kaki di sungai saja sambil bermain jangkrik hehehe..) Begitulah cerianya sahabatku, sahabat baru yang terasa lama yang ketemu di kampus Hastina Wiyata (istilahnya Pak Arif Pandu Putra bagi kampus UST). Namanya Agnes Sri Paulina, yang besok tanggal 25 April 2009 wisuda S-1 di Universitas Sanata Dharma. Saya ucapkan salamat atas keberhasilan menempuh jenjang studimu itu, semoga gelar sarjana yang kau raih tetap bersekala universal, bukan mengecil menjadi fakultatif. Wujudkan cita-citamu yang belum tercapai. Begitu juga selamat datang di kolam ini. Dari jauh kiai kodok ijo tersenyum padamu. Wilcimo widodoro.
Hadirmu memberikan harapan kepada datangnya teman-teman yang lain, para kesatria pacul emas, petani dari jawa, segeralah kembali untuk mengolah tanah yang diwariskan kepadamu. Bukankah gurumu sudah memberikan bibit tanaman itu, kenapa tak kunjung engkau tanan di bumi pertiwi ini. Walaupun engkau tak membaca tulisan ini, semoga kembali teringat tugas itu lagi.

Tiko, april. 2009

Teringat Indah

Siang kala itu terik sekali, di pertengahan bulan febuari 2009 aku melajukan motor ke kontrakan Jagan.
Sebelum benar sampai rumah, rintik hujan menyerang bumi
turun dengan derasnya, sungguh dengan tiba-tiba.
Niatku untuk menjemur anganku, harapanku, impianku sirna.
Cahaya matahari itu tidak menjatuhkan pilihannya untukku.
Aku siang itu kembali teringat kepadamu.
Kecantikanmu, kebaikanmu, keindahanmu yang dulu selalu kurindu
masih kutaruh di jemuran hatiku.
Kutepikan di sana, biar panas, biar hujan, biarlah tetap disana,
karena panasmu- hujanmu belum kutemukan gantinya.
Cintaku terlatih untuk menerima tamparan-tamparan itu
Dan pasti bukan tubuhmu, wajahmu yang masih menyeretku kesana.
Kekagumanku akan kugenggam erat dari engkau pesona
Untuk kembali belajar melihat dengan jernih
Kepada kejernihan arti hadirmu.

Tiko, feb.2009

Ngopi

Gunung itu hanya berupa
Tumpukan tinta dan sedikit goresan
Namun terlihat begitu menawan
Kami sangat puas
Setelah itu kami putuskan
Untuk “ngopi” berdua

Kaka (tnp thn)

Engkau Diam 9002 arti


Ada yang sengaja diam agar didekati,
dan ada yang tak mau didekati karenanya diam.
Ada yang malu-malu karena ia ingin tahu,
Ada yang gak tahu karenanya jadi malu.
Maka tunjukkan kekeliruanku
Untuk membantu lebih sayang padamu.

Tiko, april 2009

SUARA MISTERIUS

Tiga orang anak sedang menikmati rasa lapar. Mereka mencoba mencari tahu apa yang tersembunyi dari rasa lapar mereka. Menurut kakek mereka, suara yang terdengar dari dalam adalah suara kejujuran. Akhirnya merekapun kompak diam membisu, menunggu suara kejujuran yang akan keluar dari dalam.

Tak lama kemudian dari perut anak yang pertama tiba-tiba mengeluarkan bunyi “kukkuruyuuuk…kuruyuuuk…”
dengan kecut anak itupun tersenyum bangga. Sambil bercerita bohong, bahwa ia kemarin habis maka dua potong paha ayam besar.
“ha.ha.ha.ha…” suara tawa dari mereka meledak memulai sore yang indah.

Beberapa detik menunggu,
Menyusul kemudian dari dalam perut anak yang kedua terdengar suara aneh, “krrk..krrk..k..kurruyuuuk… breeek..greeg” gelak tawapun mengiringi suara aneh tersebut. Anak yang kedua ini pun tersenyum dan penuh percaya diri bercerita
“tiga hari yang lalu, aku makan satu blek kerupuk dan dua kepala ayam dan tiga tusuk sate brutu, ha.ha.ha…”
tawa dari anak kedua ini pun disambung dua kawan lainnya. Sore itu semakin ceria dibuatnya.

Lalu mereka bertiga kembali membisu sambil menanti apa yang akan diungkapkan dari dalam perut mereka. Lama ditunggu tak juga terdengar suara. Anak yang pertama dan kedua mulai gelisah. Mereka mencemaskas temannya yang ketiga. Mereka pun bertanya dalam hati, jangan-jangan temannya yang ketiga sudah lama tidak makan. Muncul rasa iba di hati mereka, namun merekapun tetap diam membisu.
Tiba-tiba, suara yang sejak tadi dinanti-nantikan merekapun mulai terdengar, tapi sangat pelan…
“krrk..kr...rr...tekkekkk….tokkeeek….keeek….keek…”
anak yang ketigapun tersenyum lebar sambil berdiri gagah, bercerita dengan suara keras penuh bangga:

“kemarin aku habis makan tokek bakar tiga ekor!!”
Ha.ha.ha.ha…. Ha.ha.ha.ha….
Ha.ha.ha.ha…. Ha.ha.ha.ha….
Ledak tawapun lepas dari mulut lapar mereka.


Tiko, maret, 2009

MASUK ANGIN

Pancaroba telah tiba, dari musim panas menuju musim hujan
Udara, angin, panas, hujan berganti tak beraturan
Serangga-serangga mulai berterbangan, tandai wabah penyakit yang hendak menyerang
Kanvasku malam itu kedinginan,
Batuk-batuk dan meriang
Ia bersandar lemas di sudut ruangan
……….
Semalam ia tidak bisa tidur
Gelisah dan terlihat pucat
Memikirkan teman-temannya,
yang kabarnya telah tersesat dan salah jalan
rintihannya kala itu membuatku pusing, …
aku gak tahan mendengarnya
lalu aku mendatanginya

Kamu itu gak usah mikir macem-macem kataku.
Mereka disana senang dan gembira,
bahkan bangga dengan keberadaannya,
toh kamu juga lihat sendiri,
make-up berwarna cerah ceria selalu di wajahnya.
Sudahlah kamu jangan mikir macem-macem,
toh kamu juga lagi sakit.
Apalagi ??
Kamu juga mikirin teman-temanmu yang juga lagi opname?
Si Kolase, Si Abstrak, Si Dekoratif, Si Naif
dan siapa lagi itu nama-nama temanmu itu.
santai sajalah,
Tuan-tuannya sudah mulai tahu kok,
Itu semua bukan tujuan
Melainkan make-up nya, riasan wajahnya,
ekspresi mukanya
Untuk pentas pertunjukan yang lebih luas,
lebih jauh dan hiburan kemanusiaan
human values.
Oalah,…
Aku tahu koq sebenarnya keluhanmu
Kamu gerah to? Masuk angin to?
Yaudah
Sini tak kerokin lagi
Tak bikin merah

Maafin aku yah
Seminggu yang lalu aku khilaf
Aku jual diri

Tiko, 18 maret 2009

Ataukah malu dengan muka sendiri??

Terlalu banyak kami berdusta
Terlalu sering kami berpaling
Kamipun berpura menyamar
Dalam kebodohan, melata seperti binatang
Mata kami lirikkan kanan-kiri
Kelangit maupun bumi
Oh betapa bodohnya kami…
Kami malu, malu dan malu
Bagaimana mungkin kami bersembunyi
Bagaimana mungkin kami menyamar,
Kami sadar tak bisa lagi sembunyi
Tak mungkin lagi menyamar
Yang pasti kami sangat malu
Menatap diri sendiri
Mungkinkah kami mampu
Menatap wajahmu

Ampuni kami…

Tiko, 2008

TIGA KALI LIPAT

Joko, seorang pelukis yang sama sekali gak top ikut merasakan imbas boom seni lukis sewon. Kawan-kawan seangkatannya sudah banyak yang “melejit”, termasuk juga pada harga karya mereka. Mobil bukan lagi barang mewah, bayar kontrakan tidak lagi jadi masalah, kalau perlu bayarnya dua tahun dipakainya setahun, bahkan kalau pemilik kontrakan minta utangan untuk alasan ini-itu, langsung mereka kabulkan tanpa menaruh rasa curiga. Itulah bukti rasa dermawan yang dimiliki teman-temannya. Pelukis tadi oleh kawan-kawannya diprasangkai baik, di tuduh turut mencicipi “kue manis” tersebut, sepertinya gak adil juga kalau sebenarnya seperti biasanya hari-harinya di jalani dengan puasa. Dalam lamunan kegelisahannya ia mencoba mencermati “kesalahan strategi” dalam memenejemeni karyanya selama ini. Ia menaruh curiga dalam hal pemberian nominal harga lukisannya, karena dalam pengalamannya ia memberikan harga yang murah untuk karyanya, bahkan ia sesekali menurunkan harga itu, tetapi masih juga gak ada yang melirik. Padahal seperti yang ia lihat sendiri “semakin tinggi harga karya semakin gagah karya itu di pandangan mata mereka”, dengan kata lain kegagahan karya terletak pada harganya, akhirnya ia pun berspekulasi menaikkan harga karyanya 3 sampai 4 kali lipat dari harga sebelumnya. Akhirnya betapa mengejutkan, tanpa disangka-sangka para kolektor, kolekdol, curator, kritikus, di negeri itu riuh rendah mengerubungi dan menjilati karya yang aneh tersebut.

Tiko, mei 2008

CANGGIH SEPERTI TAI

Suatu sore tamparan datang di muka kami.
Kau dedikasikan karyamu untuk siapa?
Apa yang kau lukis?
Masyarakat bawah?

“Siapa tahu dengan lukisanku ini kolektor-kolektor bisa tergerak untuk lebih merasakan himpitan hidup orang-orang kecil”
“Ah, kau terlalu pandai untuk memutar balikkan kata, jika engkau memang berempati pada mereka, mampu merasakan yang mereka alami, turunlah dan carilah solusi bagi persoalan mereka, jangan kau eksploitir dengan bentuk yang lain, jangan Cuma memandang mereka sebagai objek artistic karyamu”
“Memang begitulah tugas seniman, urusan moral sudah ada bagiannya sendiri. Disana ada banyak ahli agama, ahli sosial dan ahli-ahli lainnya yang lebih tepat”
“Pakai jubah kesenianmu,… aku muak dengan ide-ide besarmu, aku muak dengan ocehan kosongmu.
Kecanggihan berpikirmu seperti tai”

Tiko, pertengahan tahun 2008

DI JAGAN

Pintu studioku kututup rapat, kuas-kuas kubiarkan berserakan. Sisa cat acrilik dan lukisan yang belum selesai dan tak juga kunjung selesai kutinggalkan sementara. Setelah kemarin aku mengunjungi keluarga di Jepara, kali ini keluarga di Cilacap mengharapkan kedatangan kami.
Di Yogyakarta tercinta kuselesaikan pekerjaan rumah yang belum selesai, lalu rombongan kecil kami, mas Bambang, mas Erie, Didik dan aku berangkat kecilacap. Kerumah saudara kami Teguh Eka Prasetya alias Tekap (he.he.he…) dan Agung Widyo (ho.ho.ho.ho…).
….

Dia sungguh berani, si ular kecil, ular dengan batikan di kulitnya, dengan dominasi warna hitam, menyusup ke studioku yang kemarin kututup rapat. Memang ada dua pintu disana, yang masing-masing memang memungkinkan ular kecil dapat masuk menyusup lewat bawah pintu yang tak begitu rapat dengan lantai.
Bisa atau racun dalam dirinya mungkin tak seberapa, tetapi untuk membuatmu pingsan aku kira itu memungkinkan jika yang takut cukup dengan visual, wadagnya, tubuh ular itu akan membuatmu menjerit-jerit karena bentuk dan warnanya geli menjijikkan.

Dia mungkin ingin menjadi salah satu modelku, dengan menggelitikku untuk mencari dan menghubungkan dengan konsep karya-karyaku belakangan ini yaitu seputar hewan dan makanan. Kemarin aku baru kedatangan kodok, coro, bunglon, bebek, cicak, nyamuk dsb. Yang awalnya sih datang untuk mengapresiasi karyaku, tetapi akhirnya sudah dan telah kubariskan rapi dalam kesatuan komposisi kavasku.

ada; Bebek Jagoan dan Penggembala Tengik 2008, Martabat Bunglon 2008, Kostum Kebesaran dan Pilihan Medan Renang 2008, Join 2008, Kalah Cepat 2008, Berebut Sampah 2008, Sarapan Pagi 2008, Makan Malam Terakhir 2008, Makan Besar 2009, dslb.
Tapi mengapa si ular hitam bisa tergencet kanvasku sampai mati dibawahnya, siapa yang menggencetnya, kapan ia tergencet, ah pertanyaan itu akan sulit terjawab. Dan aku tak mau sulit-sulit mencari jawabannya.
Ular-ular berbisa, ular di dalam diri manusia yang memakan manusia,
Kekuatan sihir, mulutmu yang berbisa dan berbusa,
Semburkan racunmu, racun retorikamu, racun analisamu,
Semburkan dengan kuat, aku sudah menantinya,
Ha.ha.ha.. asal engkau tahu,
Air liurku dari tadi sudah menetes
Menginginkannya.

Tiko, feb, 2009

SMS RAHASIA 2009 dan Ketemu Monyet 2006

SMS RAHASIA 2009

+ di buka yak, mumpung hujan dan dingin. Dah masuk blm? Gmn rasanya.. Ksh teriakannya dong.. He.he96.. jg ngerez.. mksudnya masuk di blogku. 12 feb.2009
20 :59:40
- MODEMKU LG DIPJM ADEKU, HIK HIK HIK ADEM2 NTN TV WAE.. HEHE BSK YA 21 :01:27
+ Padahal enakan skrg, malem2 sepi, berdua mandi di kolam2ny kodok ijo, maenin kodok, dan kodok2an ha.ha69.. (jgn crta2 tmn lho) 21: 07:58
- YAAA, DA TERLANJUR SMSNYA DI BACA MA TMEN2… SORY… HAHA 21 :11:50
+ yaudah, ajak aja skalian bidadari2 lain tuk cuci kaki & mandi brg.. Tapi crita yg khusus tuk km gak jadi, takut nnti pd cemburu. Ha.ha96… 21 :21:24
- CRITA OPO? KO KTWANE 96x TRUS G NANGGUNG! 21 :21:24
+ Ntar, Sabar, Tnggu bentar, syaratny km masuukkk dulu.. Ok, crt ini dah lm, tapi msh rahasia, malu aq, Wha.kak.kak 2.696x… 21 :37:44

- apasih ceritanya tiko? Kok ketawanya terus2an
+ sebetulnya gak lucu sih, justru karena itu aku ingin ketawa terus2an..
Masalah gak lucu ini, karena sangat lokal, sangat personal, Bukan Humor Berkelas yang bisa dinikmati oleh banyak orang.
- jadi itu bukan sesuatu yang berbobot, yang mencerdaskan yah?
+ ya.. bahkan cenderung menyesatkan ha..ha..69x
Kira2 3-4 tahun yang lalu aku pernah dan telah bermimpi, dalam mimpi itu aku berada di sebuah kamar, di sana ada kamu juga.
Aku duduk di lantai dengan bersandar pada dinding yang di sebelah atasnya ada sebuah jendela yang terbuka keluar. Saat itu matahari cerah, menjelang sore, dengan udara segar yang keluar masuk lewati jendela dengan leluasa. Kamu ingin tahu, kamu berada dimana?
Ya, kamu berada dalam pangkuanku, punggungmu membelakangiku, sambil asyik membaca buku harianku, lembar demi lembar cerita demi cerita.
Kamu dalam pelukanku…
He.he.he.96x
Oleh karena itulah aku “sedikit memaksa” kamu untuk baca sebagian buku harianku dalam blog kodok—ijo ini karena terinspirasi dari mimpi tersebut.
Sekarang mengenai membacanya sudah menjadi kenyataan, berarti yang belum apanya….?
Hahahaa…
- DASAR !!!!

Tiko, feb.2009





Sedikit catatan untuk mengingat

Ketemu monyet

Kau menemuiku, kau jabat tanganku
Kita ngobrol rame-rame
Aku curi-curi pandang
Kau pun tak berubah, berlagak malu
Seperti yang ku kenal, kau percikkan benih-benih harapan,
Peta petunjuk jalan, bahkan janji kencan yang terawang

Ya aku pernah suka kamu
Sahabatku pernah suka kamu
Entahlah dulu pengorbanan untuk sahabat
Atau sahabat yang mengorbananku
Serpertinya…, saat ini terserah kamu dan aku

Tiko, 2006

ANAK AJAIB

Ada sebuah gallery di sebuah kota, yang di pintu gerbangnya di jaga oleh seekor ular raksasa. Mulutnya selalu menganga, tubuhnya yang besar dan panjang melingkari bangunan itu. Suara desisnya membuat sekujur tubuh merinding, aura keseraman memancar jelas. Bulu kuduk siapa saja pastilah dibuatnya berdiri dan bagi yang penakut pasti dibuatnya terkencing-kencing, apalagi yang belum pernah merambah hutan dan tak pernah mempelajari jenis-jenis ular. Taring tajam di pangkal mulut yang menganga terlihat selalu menetes bisa berwarna hitam pekat. Ia memakan apa saja yang mendekat. Sapi, kerbau, anjing, bahkan manusia-pun disikatnya.
Suatu hari ada anak kecil yang nekat. Entahlah, mungkin ia keturunan pendekar dari padepokan mana, telah menguasai ilmu apa, dan mengantongi jimat apa sehingga ia gembelengan berjalan mendekat. Niatku ingin kuperingatkan untuk tak mendekat tetapi terlambat, anak kecil itu sudah persis berada tepat di depan ular besar tersebut. Dengan jantung berdebar dan menahan nafas was-was aku memperhatikan sambil jongkok dari kejauhan, sambil sesekali berdoa penuh kecemasan berharap anak itu selamat.
Semoga ular itu sudah kenyang-
Semoga ular itu sudah kenyang-
Semoga ia malu untuk makan anak-anak…
….
Tetapi dengan cepat aku dibuat terkejut, sungguh benar-benar terkejut melihat kejadian, sebuah pemandangan di depan mata kepalaku sendiri. Ajaib- ajaib gumanku.. sambil berdecak kagum, ck,ck,ck… Kulihat anak itu bercakap sambil mengelus kepala si ular, mata yang segede piring, yang biasanya berwarna merah menyala, kali ini tak memancarkan keseraman, bahkan terlihat merem melek keenakan dan sesekali terpejam lama. Kemudian kulihat anak kecil itu menjilati mukanya, taringnya, badannya yang terlihat licin tanpa rasa takut sedikitpun. Melihat itu semua, aku menjadi semakin bingung dibuatnya. Ajaib-ajaib….. pikirku.

Tiko, feb, 2009

ANAK NAKAL

Pernah aku ikut-ikutan bersedih dan murung, atas kesempatan mencium dinding-dinding disana. Kadang juga terpancing amarah, padahal kakekat memancing adalah kesabaran berusaha dan menunggu.

Memang aku anak nakal.

Kutendangi kepalanya, tapi yakinlah, tetap kuarahkan ke dalam gawang supaya terjadi goal.

Kuincar jidatnya, kubidik dengan senapan angin biar rasa sakit itu cepat menghilang

Untunglah, memang tak sepantasnya dinding itu menggantikan hajar aswad, dan alangkah sayang jika energimu habis cuma untuk bermain-main amarah.

Akhirnya, lubang-lubang cacing bermunculan di depanku, lobangnya besar sekali. Seluruh perut bumi adalah jalur-jalur rahasianya, di bawah tanah yang terang benderang, ada udara segar dan sinar mentari yang menghangatkan.

Lewat lubang itu engkau bisa menyusup kesetiap rumah diatas sana, bukan cuma seminggu atau sebulan, melainkan setiap saat. Naiklah kesana memasuki setiap ruang hatinya dengan berbekal hatimu, dengan cinta.

Di kolam galleri,

Beristirahatlah sejenak, mungkin engkau berkenan sesekali bersamaku mempercantiknya dengan menanam bunga-bunga, menabur benih ikan, atau mengurasnya jika air disana telah keruh. Semoga saja sumber mata air itu selalu mengalir jernih walaupun musim kemarau tiba.


Tiko, feb, 2009

JATUH CINTA

Pada suatu hari aku cuma ingin jalan-jalan ke gallery, bukan satu atau sesuatu gallery melainkan kusatroni semuanya, tetapi dengan cara diam-diam. Mulutku kututup erat dengan kedua tanganku yang kurasakan semakin hari semakin lebar. Kulangkahkan kaki dengan mantap dari kosku yang semakin sesak dan pengap, entah karena apa.
Pada hari itu mataku kubiarkan jelalatan. Kulirik kiri, kulirik kanan, kutatap atas, kuintip bawah, hik.hik.hik… siapa tahu ketemu yang sedang aku cari.
Jangan pikir aku sedang cari ide hebat,
Jangan sangka aku lagi cari wacana bermutu tinggi,
Jangan curigai aku hendak “nyunggi” atau memuntahi karya seseorang,
Jangan kira aku mau memetakan sesuatu atau merancang sesuatu. Sudah beberapa lama tanganku telah kulatih untuk menunggu hari itu. Latihannya sih sepele; telapak tangan, disitulah fokusnya. Punggung dan muka dari talapak tangan. Aku cuma membolak-balik telapak tangan keatas lalu kebawah, keatas lagi kemudian kebawah lagi. Seperti itu berulang-ulang. Demi untuk menutupi suara kentut yang keluar dari mulutku yang semakin hari semakin tak terkendali. Tuut, thuuut, breet, thiiit dan sejuta nada-nada aneh sejenisnya.

Yang kucari di hari itu adalah yang ingin kulihat, bukan karya yang mengepalkan tangan dan berteriak-teriak, bukan yang sok filosofis, keminter, bukan karya yang merajuk, perayu ataupun penggoda, bukan karya yang penuh simpanan teka-teki masa lalu atau masa depan. Bukan karya yang cuek bebek dan tak peduli, bukan yang sok pahlawan atau pendamai, atau karya pewarta zaman kini, pengkhotbah, pendidik, atau apapun suara yang keluar dari mereka.

Dihadapan mereka aku meloncat-loncat, sesekali memutarinya dengan satu kaki. Kadang kupegangi tangannya dan berputar bareng. Sesekali juga aku iseng mencoleknya, bahkan kalau gregetan kucubit dia, padahal jelas-jelas ditulis besar di situ Don’t touch, mohon jangan menyentuh karya… ah bolehlah untukku dan untuknya, dia selalu menegurku masak aku tak menyapanya.
Dalam rapatnya kedua telapak tanganku mulutku tersenyum lebar. Jangan bilang siapa-siapa, matanya berbinar kepadaku, akupun membalasnya walaupun tanpa kata-kata.

tiko, jan. 2009

Hitam Putih Untuk Penggembala Tengik

Oleh : Tiko

Didik Wibowo marah-marah besar. Kopinya yang masih separoh di join ama cicak. Rencananya nglembur sanpai pagi terganggu oleh nekatnya sahabat kita yang satu itu. Untuk mengurangi emosinya ia pun terpaksa, maaf, mantek aji sebentar untuk berkomunikasi dengan cicak tersebut. Karena ia mengetahui marah tanpa mengerti sebabnya marah adalah kebodohan dan menyakiti sesama mahluk termasuk dosa walaupun itu adalah seekor cicak. Maka terjadilah komunikasi.

“ Hai, Cicak-cicak di dinding, engkau sungguh mulia.
Setiap hari engkau membantu menjagaku dengan melahapi nyamuk-nyamuk yang sering menggigit dan mengganggu di malam lemburku dan saat bobok ku.
Kiranya ada apa gerangan kali ini engkau yang merusuhi diriku dengan meminum kopiku dari gelas yang satu. Maka karena kebodohanku yang tak mampu menerima kejadian ini, berikanlah alasan yang memuaskan untuk meradakan rasa kesalku ini, kenapa engkau nekad mencicipi kopiku? ”

“ Ha.ha.ha.ha… cicak tertawa terbahak, kamu jangan cepat emosi, jangan cepat marah, ntar jadi cepat tua baru tau rasa. Lengkungkan dulu bibirmu dan berikan tatapan mata persahabatan padaku!.”

“ Iya, iya.. Didik terus mendesak, tapi mengapa engkau meminum kopiku. Kalau kamu haus bukankah banyak air disana, di bak kamar mandi atau dimana saja. Bukankah kamu bebas dari bermacam penyakit perut. Silahkan minum apa saja, tapi jangan kopiku!.”

“ Kamu jangan sok tahu sahut cicak. Bukankah kamu sadar aku selalu temani malam mu? Membantu mengurangi nyamuk dirumahmu karena mereka adalah makananku. Dan apakah aku selalu meminum kopimu? Apakah kau pernah menawari aku? Kau pikir aku mencuri kopimu? Sebenarnya dari tadi aku sudah meminta baik-baik kepadamu, Cuma engkau yang terlalu serius di hadapan karya senimu itu yang mengurangi kepekaan pendengaranmu. Sebenarnya begini, malam ini aku ngantuk berat. Badanku terasa capek.
Aku takut jika berjalan di dinding dan eternit nanti terpeleset dan jatuh, kan bisa jadi berabe. Aku ingat kemarin engkau berbicara dengan temanmu soal khasiat kopi, yang salah satunya adalah mencegah kantuk. Oleh karena itu aku ingin membuktikan sendiri kebenarannya.”

“ Ya udah jika benar itu alasanmu, aku menerimanya.
Padahal tahu gak, dari dulu nenek moyangmu juga memakai alasan yang sama untuk membenarkan perbuatannya.”

“ Maksudmu?” Tanya si cicak.

“ Apa kamu tidak pernah mencari tahu kenapa tahimu berwarna hitam dan putih. Hitamnya banyak dan putihnya setitik.” Cicak semakin tak ngerti.
“ Gini ceritanya; cicak nenek moyangmu dulu adalah sahabat nenek moyangku. Karena cicak binatang yang baik, ia mendapatkan anugrah untuk bisa melawan gravitasi. Ia bisa merayap di dinding dan eternit seperti kemampuan yang kamu miliki sekarang. Sampai-sampai tahinya pun berwarna putih. Sampai suatu hari moyangku membuat kopi nikmat di sebuah malam. Cicak moyangmu tergoda untuk mencicipinya karena mencium aroma wangi kopi tersebut. Iapun mengendap merayap dan meminum hampir separoh kopinya.”

“ Wuih.., yang bener ” sahut cicak.

“ Kemudian kakek moyangku mengintrogasinya, dan ternyata cicak tak mengakui perbuatannya. Padahal moyangku dengan mata kepala melihat kalau si cicak yang meminum kopinya. Karena itu ia pun mengucapkan semacam doa; jika cicak bohong maka tunjukkanlah semacam pertanda yang jelas kepadaku. Maka tak lama kemudian perut cicak terasa sakit dan tak tahan untuk berak. Alangkah mengejutkan bagi cicak, ternyata tahinya berubah warnanya menjadi hitam dengan sedikit putih. Ia pun dengan segera menyadari kekhilafannya. Syahdan hingga sampai saat ini keturunan cicak mewarisi warna hitam putih di tahinya dan keinginan mencicipi kopi milik manusia. ”

Cicak tadi pun tersenyum-senyum …
“ Maaf dech - maaf dech,” sambil nyelonong pergi merayap ke dinding kamar dan berhenti diatas sebuah lukisan.

“ Kamu ingin tahu pendapatku tentang lukisanmu” tanpa menunggu jawaban
“ Ini pendapatku ” sambil mleding berak menetes menjatuhi tepat di atas hidung figur manusia dalam lukisan “Bebek jagoan dan Penggembala tengik” miliknya.

Didik dan cicak tertawa terbahak-bahak bersama.

tiko, jan. 2009

KOPI PAHIT

Dia adalah seorang seniman yang biasa kerja malam, hidup dan menghidupi malam, sedangkan sebagian banyak waktu siangnya adalah untuk tidur dan main-main. Pada tahapan kehidupan berkeluarga, terjadilah sebuah dilema. Istri yang dicintainya belum mampu menerimanya apa adanya, sementara kariernya tak semulus angan dan harapannya apalagi ditambah tekanan dari keluarga si wanita. Kebutuhan hidup yang semakin mengganas dan mencekik memberikan tekanan berat bagi keluarga baru itu.
Disaat kondisi kritis dan terjepit itulah ia putuskan untuk banting stir dan terpaksa mengubah pola hidup menjadi bagai manusia umumnya. Ia bekerja di bengkel sepeda motor jika disana memerlukannya, ia sebagai kuli panggul di pasar jika dagangan es cendolnya tak kunjung laku. Ia pun membantu sebagai tenaga ajar di sebuah SD swasta walaupun cuma sekali dalam satu minggu. Ia melakukan apa saja dan dengan siapa saja selama itu halal demi mempertahankan keutuhan rumah tangganya. Disamping itu semua tentu saja meluangkan walau sedikit waktu untuk berkarya, yang katanya sih tuntutan dari lubuk hatinya.
Hal yang demikian tentu bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilakukan, karena waktu siang tersita untuk bekerja dan malamnya pun seperti biasanya diluangkan untuk berkarya. Namun apalah dikata, tenaga manusia ada batasannya. Kopi yang biasanya manjur sebagai penangkal kantuknya, sudah tak terasa efeknya di badan dan mata.
Akhirnya ia pun berkonsultasi dengan seorang dokter.
“Dokter, saya mempunyai masalah dengan rasa kantuk yang berlebihan, saya tidak bisa mengontrol keinginan tidur walaupun hari masih sore. Sedangkan saya masih pingin bekerja di malam hari. Saya sudah menyiasatinya dengan meminum kopi pahit di campur sedikit garam, tapi semua sia-sia, malahan tidur terasa nikmat sekali setelah saya minum kopi. Bagaimana saya bisa tahan untuk terjaga dok?”.
“Oh, kalau itu sebetulnya masalah sepele. Bukan soal kopi yang yak berkhasiat menahan kantuk, tetapi lebih pada cara anda menikmati kopi itu.”
“Maksud dokter?”
“Maksud saya; ketika anda merasakan kantuk bikinlah kopi kental yang panas, terus jangan langsung diminum kopinya, tapi gunakan untuk mencuci muka anda dulu, baru diminum. Pasti dijamin anda tidak ngantuk lagi.”
“Yaiya lah dok, gak ngantuk tapi mlocoti. Dasar dokter sialan.”

Tiko, jan.09

wah..., do NARSIS alias NARSO!!!!

ngapain kalian pada narso???
memalukan!
kemaluan!
keterlaluan!!!!

tiko, jan 2009

NUNUNG RIANTO. teman tiko

Nama : Nunung Rianto
Tmpt/Tgl lhr : Bantul, 26 Juli 1982
Alamat : Kalipakis / DK 1 Kalipakis
RT/RW : 04 /01 Desa Tirtonirmolo
Kecamatan : Kasihan
Kabupaten : Bantul (55181)
Agama : Islam
Jenis kelamin : Laki-laki
Kewarganegaraan : WNI
No Hp : 085643045306

PENDIDIKAN :
Tahun 1995 : Lulus SD Muhamadiyah, Ambarbinangun, Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul, DIY.
Tahun 1998 : Lulus SMP Mataram GUPPI, Ambarbinangun, Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul, DIY.
Tahun 2001 : Lulus SMK N 3 Kasihan (SMSR Yogyakarta), Kasihan, Bantul, DIY.
Tahun 2001 : Di terima menjadi Mahasiswa FSR ISI Yogyakarta, Jurusan Seni Murni, Minat Utama Seni Lukis

AKTIFITAS BERKESENIAN :
2001 Pameran TA di Mardawa Mandal Yogyakarta (SMSR)
2002 Pameran Sketsa, di Lorong Jurusan Seni Murni ISI Yogyakarta.
Pameran Lukis Cat Air, di Lorong Jurusan Seni Murni ISI Yogyakarta.
2003 Pameran Puser ’01, di Gallery ISI Yogyakarta.
Pameran Lampu Andong, di Benteng Vredenbrugh Yogyakarta.
2004 Pameran Puser ’01, I’m a Terrorist, di Benteng Vredenbrugh Yogyakarta.
Pemeran Seni Kebangkitan # 6, di Gedung Bale Mangu Kepatihan Danurejan.
Pameran Kompetisi Seni Lukis Pratisara Affandi Adikarya di Gallery ISI Yogyakarta.
WorkShop Lukis Topeng Anak-anak SD UNS Solo
2007 Pameran HARLAH ASRI ke-57, di Benteng Vredenbrugh Yogyakarta. Pameran Kompetisi Seni Lukis Pratisara Affandi Adikarya, di Gallery ISI Yogyakarta.
2008 Pameran Celebrating the Differences, di Elegan Art Space Jakarta

Sepiring Berdua




















Nunung Rianto, Sepiring Berdua (Ketidakseimbangan), 2008
120 cm x 150 cm, Akrilik di Atas Kanvas

Gambaran tentang perkembangan pembangunan dimana semakin hari demi hari terus berkembang dan terus berkembang dengan pesatnya menggeser area penghijauan, sehingga mengakibatkan ketidakseimbangan antara pembangunan dan penghijauan dikarenakan lahan penghijauan semakin hari semakin berkurang.

Buaian Cengkraman dan Harapan











Akrilik diatas kanvas
90 X 90 cm
2007

Keadaan yang penuh dengan kepalsuan menyelimuti
hampir semua ruang luar-dalam manusia.
Hati nurani yang kali ini disimbolkan sebagai anak kecil
seolah dinina-bobokan oleh hal-hal yang sudah dianggap wajar.
Terkadang kesadaran memakai hati kecil sebagai rujukan pertimbangan terakhir
tak berfungsi dengan semestinya, dikarenakan telah pulas tertidur.
Tetapi anehnya seolah hatinya hati kecil selalu berdoa untuk selalu tersadar.

Pecah Terbelah

















Nunung Rianto, Pecah Terbelah, 2008
120 cm x 150 cm, Akrilik di Atas Kanvas

Mengungkapkan kalau bumi ini seperti roti yang bisa dipotong-potong sesuai keinginannya.
Visualisasi diatas sebagai gambaran telah terpotong-potongnya lahan sesuai dengan porsi masing-masing.
Piring pecah sebagai gambaran pondasi yang pecah akibat kurang dari ketidakseimbangan .

Tarian Hujan Dimusim Kemarau


Akrilik diatas kanvas
150 X 70 cm
2007

Terkadang kurang teliti, kurang waspada,
kurang rangkap ilmu yang dipakai dalam melihat suatu hal atau fenomena
membuat membuat manusia cepat puas atau kebalikannya mudah menyerah.
Perihal tersebut akan mudah dimanfaatkan bagi orang-orang pandai
dan memiliki ilmu yang lebih.
Dalam lukisan kali ini keinginan seseorang yang begtu kuat
akan hujan sebagai metafora pelepas dahaga atau penyejuk rohani,
membuat manusia semakin sulit membedakan antara air kencing dengan air hujan.

Rombongan

Di dalam pameran bersama itu, dia pameran sendiri.
Mereka berpameran sendiri-sendiri.
Walaupun ditulis dengan kata kebersamaan, berselimut kehangatan, ditali persaudaraan, mereka, karya mereka belum saling kenal.
Tak terdengar sapa pun mesra.

Yang satu bilang ini, yang situ bilang itu. Yang sono bicara sendiri,
saling omong. Cuma dengan diri sendiri, maupun dengan orang yang kira-kira mau mendengarkan. Padahal dari tadi belum ada orang yang benar-benar mendengarkan.

Riuhnya mirip pasar. Suara gemuruh orang-orang bila kau dengar dari kesunyian.
Orang yang butuh sayur mendatangi penjual sayur. Terjadi transaksi, lahir dan batin. Orang yang butuh pakaian mencari penjual pakaian. Terjadi transaksi, lahir dan batin.

Seminggu, sebulan kemudian pasar pindah datang segerombolan pedagang-pedagang baru. Dengan metode sama.
Yang bajunya telah usang, mencari baju baru. Sayur yang kemarin telah jadi kotoran. Lapar, cari makan lagi di pasar.

Suatu hari terjadi keguncangan.
Penjual semakin lapar.
Pembeli tak ada uang.
Mulailah kejahatan tumbuh menjalar lebat dalam pasar.
Nafas mereka mulai sesak.
Saling tuding, saling tuduh, saling marah.
Mereka tak tahu harus berbuat apalagi.
Tiba-tiba seorang gila lewat. Aku tak tahan sendiri, aku tak tahan sendiri, masih dengan suara jeleknya ia nerocos sambil berjalan.
Walaupun kita sering ngobrol, ngopi, makan, bahkan tidur bareng, mandi bareng, mancing bareng, olah raga, olah rasa, tapi kenapa rasanya aku masih sendiri.
Kamu pun sendiri.
Apa kamu mau ikuti jejak si gila ini. Tiap hari bicara sendiri.
Aku minta putus dari kamu.
Dan aku memutuskanmu,
Jika keinginanmu adalah jalan sendiri-sendiri.

Penghuni pasar saling berpandangan, merekapun saling berbisik; ah Cuma orang gila, merekapun kembali dalam percakapan yang sama.
Bantah membantah.

Tiko, Des. 2008