Eksperimen apa lagi neh...??



kk, 2010

Si Gondrong dari Karangjati

Karena ayah sudah tak pelihara ayam
Bangunku semakin siang . . .
Untunglah, kemajuan teknologi telah merekayasa nada mirip ayam jago
Walau tak begitu menawan
Tetapi cukup sebagai alarm, Pengingat waktu
Kalau sekarang sudah Pukul 04:51
Saat biasanya si jago mulai merayu matahari
Untuk berbagi Kehangatan dipagi hari

Dengan secangkir kopi sehabis mandi
Rokok kretek 234 pasangan sejati
Sebelum ngantor tak lupa amunisi
Nasi goring telur buatan sendiri
Tak kalah nikmat dari ayam goreng Ny. Suharti
Atau gudeg bikinan si cantik Windari
Yang memilih nikah dengan polisi
Dari pada Si Gondrong dari Karangjati

Kini aku wartawan Koran sehati
Mencari berita kesana-kemari
Ku tulis artikel dengan senang hati
Tetapi,
Dengan setumpuk rasa bangga ku akui
Yang baca baru aku sendiri
Dan kalian yang tersesat disini
Xixixi . . .
Xixixi . . .

Tiko, 23-7-2010

Sebaris Catatan dari Pameran tunggal M. Aidi Yupri, Alam Menggugat

Kali ini, ijinkanlah aza dan beberapa kawan yang lain belajar kepadamu tentang tekad yang kuat dari Pesan Hijau. Tentang sesuatu yang hari ini diperjuangkan, dianggap dan diyakini lebih baik dari hari kemarin, tentang kegelisahan, tentang harapan dan doa yang tetap kau lukiskan. Bacakan terus Pustakan Alam tersebut kepada kami, sehingga mata dan telinga sedikit-demi sedikit terbuka melalui jarak pandangmu, atas dasar ilmu pengetahuan alam yang engkau tekuni. Bisikkan apa yang ada Dibalik Cahaya itu, misteri kemegahan dan keindahannya, sehingga kami mampu mengetahui apa yang benar-benar Kokoh Berpijar dalam ruang gelap tak bertepi ini. Sehingga kami turut menjadi bagian dalam selembar Simbol Perdamaian dan menyadari Batas Medium keberadaan hidup yang sebentar ini.
Salam
Pesan Hijau-pun Sampai kepadaku, ketika seorang kawan memberikan kabar, bahwa malam hari itu, 21 mei 2010, mas Aidi Yupri sedang melangsungkan ceremony pembukaan pameran tunggal di galeri Mon Decor, Jakarta, setelah menunggu sekian lama, semenjak pameran tunggal tugas akhir di kampus ISI Yogyakarta. Tentu sangat seru jika aku saat itu bisa sampai disana, namun kebetulan aku tidak menjadi teman yang beruntung untuk hadir dalam pembukaannya, tapi itu tak jadi masalah. Lembar demi lembar catalog yang kulihat di rumah temanku, dan sedikit-banyak cerita darinya, membuatku seolah sudah lama mengenal dirinya.
Sebagai salah satu pelukis muda, Aidi Yupri termasuk dari mereka yang konsisten dan berusaha keras tetap progresif dan survive terhadap setiap keadaan yang sedang dihadapinya. Dalam beberapa kesempatan agenda perencanaan pameran tunggalnya, sempat beberapa kali tertunda, tetapi itu semua dapat diatasi dengan tenang, mengalir lembut seperti sungai di belakang rumah pamanku yang di kiri kanannya masih banyak pohon rindangnya, dan itu semua terdapat dalam refleksi dari dalam karya-karya mas Aidi. Kecenderungan melakukan kontemplasi religious terhadap ayat-ayat Tuhan yang terpampang di alam, dan bumi dan sesuatu yang tumbuh di atasnya, membuat dirinya berkesempatan melukiskan kembali Pustaka Alam. Sehingga kali ini kita dengan gembira berkesempatan mendengarkan tutur sunyi beberapa bab dan fasal yang akan dibacakannya, kepada mata-telinga kesadaran yang mempunyai kecenderungan lupa, melalui bahasa rupa.
Ada sebuah kotak pemikiran dari beberapa perupa, mengenai sempitnya jiwa atas pemahaman kepemilikan sebuah subjek matter, yang seringkali di nisbahkan pada nama seseorang. Contohnya seperti obyek batu adalah idiomatik milik perupa A, obyek telor adalah milik pelukis B, dst. Sehingga ada beberapa kedangkalan dan statemen yang keluar tidak langsung; sadar maupun tidak, diantara mereka, yaitu bagi siapa yang menggunakan subjek mater yang sama, akhirnya dianggap sebagai sang Pengekor. Padahal yang aza tahu, sejak dahulu telor dan batu tak pernah memberikan hak paten, harus lewat tangan siapa ia pantas dijadikan model lukisan, tak pernah menuntut diberi jatah bayaran setelah dijadikan model lukisan, dan tak punya ekor untuk dibagi-bagi kepada manusia yang melukisnya .Kira-kira hal tersebut juga sempat menjadi batu kerikil sandungan, tetapi mampu disingkirkan melalui keluasan pikiran mas Aidi, melalui kelahiran karya-karya berikutnya seperti dalam proyeksi kata-kata cerdas miliknya.
Deformasi Hijau adalah jawaban selanjutnya, atas kebiasaan kita atas eksploitasi terhadap alam, atas keberingasan kita mangenai hak irodah kecil yang dititipkan dalam diri manusia. Selanjutnya Biar Tampak Teduh merupakan penisbahan satiris atas keadaan yang dianggap angkuh dari pembangunan fisik yang dibangga-banggakan manusia kebanyakan, namun kenyataannya tak mampu selaras dengan alam. Sebagai bentuk kritik structural Aidi melukiskan bayang-bayang pohon besar nan rindang memenuhi hampir keseluruhan dindingnya, namun bukan bayang-bayang dalam arti sebenarnya, melainkan sebuah lukisan dinding atau mural di dinding gedung bertingkat lima dalam lukisannya.

Huruf Tanpa Kata yang Sarat Makna
Kakakku sering mengajakku berdebat tentang sebuah kata, katanya banyak kata yang kita sering salah kaprah dalam menggunakannya, dalam memahami maknanya. Kata adalah susunan huruf yang membentuk makna, sedangkan huruf adalah bagian terkecil dari kata, huruf bisa mempunyai makna jika dijadikan symbol, atau merujuk pada kependekan kata jika telah disepakati secara umum. Kata-kata adalah bentuk jamak dari kata, ketika disusun sedemikian rupa disebutlah dengan kalimat. Dengan berbekal kata-kata kehidupan manusia berlangsung. Yang terjadi sekarang, banyak proyeksi kata dipermainkan oleh akal dan lidah manusia, demi mendapatkan sesuatu. Dalam semangat pembangunan kita pun sibuk mencari-cari alasan, sibuk memproyeksikan kata-kata untuk membela diri dari kepalsuan teori kemajuan manusia yang berdasar semata-mata atas kemajuan fisik belaka. Kita semakin lupa arti keselarasan alam. Yang terjadi adalah lahan kosong dan hutan dijadikan ekspansi pembangunan. Tidak perlu cerita panjang-lebar tentang kerakusan manusia dengan pembalakan liarnya, kebakaran hutan, tanah longsor, kesulitan air, ekosistem, dan rangkaian panjang di dalamnya, catatan yang diberikan mas Aidi pun cukup jelas: Cukup Satu Kata ‘Pohon’ , dalam sebuah lembar halaman buku, yang dibuka lebar-lebar yang semua huruf merapat dalam satu kesatuan bentuk, saling tumpang tindih, satu dengan lainnya membentuk formasi visual dalam komunal obyek pepohonan, yang menjadi materi subyek karya. Benar, Tak diperlukan banyak kata untuk sesuatu yang sudah kritis!!!

Dari sesuatu yang bening itu, pandangi dengan jernih

Yang aza tangkap dari lukisan-lukisan mas Aidi yang lain adalah perasaan halus dari dalam dirinya, yaitu tentang harapan, berupa sebuah kedamaian bukan hanya bagi umat manusia, melainkan dengan alam dan bumi sebagai patner kehidupan. Dalam lukisan Satu Untuk Bumi, dibalik kaca bening, dua bolam lampu yang di distorsi menjadi satu dalam format horizontal, yang di dalamnya dilukiskan dua tangan dengan warna kulit berbeda saling berjabat tangan, perbedaan tak menjadi alasan untuk kesediaan bersama-sama menjaga kelangsungan kehidupan bumi yang lebih baik, sehingga kawat pijar dari tangan manusia tersebut menghasilkan cahaya kedamaian, kesejahteraan untuk manusia sendiri dan bumi yang ditempatinya.
Sebagai penutup, aza ucapkan selamat dan sukses atas pameran tunggal kali ini, semoga kedalaman perenunganmu dapat diterjemahkan dengan lebih baik dan lebih luas oleh teman-teman yang lain. Sehingga lebih bermanfaat hadirnya karya-karya tersebut. Karena aku yakin kedangkalanku dalam membaca karyamu, tidak akan mengurangi siapa saja untuk lebih menyelami kedalamannya. Kapan-kapan ajaklah aza untuk turut serta menanam pohon sebagai baktiku pada bumi, seperti yang pernah kau lakukan di lereng bukit dekat rumah nenekku.

Aida-aza, mei, 2010

sign


...

RAHASIA DAPUR DAN MASAKAN IBU

Ibu adalah sahabatku yang baik. Ia tidak pernah menyuruhku untuk menemaninya di dapur. Yang diharapkan olehnya dariku yaitu; untuk selalu semangat belajar, sehingga menjadi anak yang pandai; dan aku menuruti saja perkataan ibu tanpa banyak bertanya apalagi membantah. Yang ku tahu, anak yang baik adalah anak yang patuh dan menuruti perkataan ibu. Dan aku berusaha membuktikan menjadi anak yang baik di mata ibu.
Semakin bertambahnya umur, aku pun ingin seperti ibu; khususnya dalam urusan dapur. Berawal dari pertanyaan sederhana; Mengapa ibu selalu bisa membuat masakan yang enak?; dan kenapa ibu bisa membagi waktunya dengan baik antara bekerja dan mengurusi rumah tangga; apalagi setelah ayahku sakit dan harus pensiun dari tempatnya bekerjanya, otomatis tulang punggung keluarga berada dalam gendongan ibu sendiri. Sedangkan aku dan adik-adikku masih sekolah semua. Namun, beban yang berat itu mampu disimpan rapat-rapat oleh ibu. Dimana ia menyimpan perasaan itu?, sedangkan sinar mata yang teduh selalu menghiasi hari demi hari dan tanpa sekalipun menunjukkan rasa lelah. Banyak pertanyaan yang bermunculan di kepalaku, dan semakin hari semakin banyak…
Semakin aku kagum, akupun secara diam-diam mengamati aktifitas ibu ketika dirumah, seusai beliau pulang dari tempat kerjanya. Aktifitas ketika di dalam, di halaman, dan di sekitar rumah. Apa yang dikerjakannya menjadi perhatianku. Dan aku pun mulai membantu sedikit demi sedikit, walaupun ibu tak pernah memintaku untuk membantu pekerjaannya. Hingga sampai ada sesuatu yang lain ketika beliau berada di dapur. Ya, di dapur adalah tempat ia betah berlama-lama, selain di ruangan tempat khusus untuk sholat.
Setelah kupikir-pikir, betul juga; dari dapurlah aku, adik-adikku, dan orang tuaku biasa berkumpul ketika waktu makan tiba. Sambil membicarakan apa saja dalam suasa santai, atau dengan nonton teve. Aktifitas berkumpul dalam suasana santai inilah, yang menjadi pintu terbuka segala keluh kesahku, atau cerita kejadian lucu di sekolah adekku. Semua bisa di bicarakan; sehingga kami pun merasa lega, dan saling mengenal satu sama lain secara alamiah. Masakan ibu dan dapur itulah kuncinya.
Naluri belajar hal yang berhubungan dengan dapur pun semakin kuat. Ya, aku harus bisa memasak seperti ibu. Mula-mula aku Cuma menemaninya; melihat apa yang dikerjakan ibu. Kemudian memegang pisau, menyiapkan bumbu, mempelajari takarannya, dan seterusnya. Sedikit demi sedikit aku mengerti dan mampu menyuguhkan masakan yang mirip-mirip bila di bandingkan dengan masakan ibu; dari model, fariasi dan rasa masakan, sehingga tidak terasa membosankan. Bahkan kemampuan ini aku rasa semakin berkembang ketika aku belajar di jogja.
Cita-cita dari semua masakan adalah pencapaian kenikmatan rasa. Entah masakan dimodel seperti apa, dimodifikasi hingga menjadi apa, sehingga mata dan hidung tersandra untuk mencicipi; pada akhirnya rasalah yang menjadi jurinya. Memang sih, takaran rasa berbeda-beda dan selera tidak bisa diperdebatkan.
Yang menjadi alasan aku menulis catatan ini adalah: mengapa rasa masakanku di hari itu tidak sesuai dengan yang kuharapkan. Seolah pengalaman, pertimbangan rasional, dan naluri yang pernah kupelajari dari ibu menjadi hilang. Ini yang salah cara memasakku atau ada yang salah di lidahku? Atau ada faktor lain; apakah faktor itu ibu..?
Apakah ibu juga pernah mengalami yang seperti ini? Jika pernah bagaimana itu bisa terjadi, dan bagaimana cara mengatasinya?
Ibu masih banyakkah pelajaran yang belum kau sampaikan kepadaku?
Atau pelajaran yang belum mampu ku pahami darimu?
Ibu, aku ingin seperti ibu, cukup dengan masakan, mampu membuat kami semua berkumpul, tersenyum, bercerita dengan aman kepadamu. Dan tentu saja mampu menyuguhkan makanan lezat untuk kekasihku itu.

Samitalona 27.01.10

Hingga Pagi Tiba

Arjuna masih saja mengejar dewi larasati…,
padahal sembadra dan srikandi sudah menjadi istrinya.
Sementara azan subuh mulai terdengar dari pengeras suara masjid,
yang merambat melalui udara pagi hingga ke kamar kontrakan.
Pak dalang masih asyik memainkan dialog dari dalam radio.
Iringan gamelan pun tetap semarak tanpa henti.
Semakin hangatlah suasana hati.
Suasana seperti ini,
yang damai,
di selimuti dalam sisa semangat,
dengan sedikit rasa capek di badan,
sungguh nikmat untuk rebahan pun sujud.

Hmm… sedang apa kamu di sana?
Ingin ku sms saja tapi tak ada pulsa,
Maka kutunggu sms / telepon mu saja.
Bukankah kamu selalu ingin membangunkanku di setiap pagi.
Mengirimkan motivasi dan perintah-perintah suci.
Kasih, telah berlalu beberapa menit,
hp tak kunjung berbunyi
Emang, sejauh mana pelayaranmu malam ini,
Berapa kepulauan di bantalmu yang telah kau tandai.
Ataukah kali ini kau kembali melakukan illegal loging
Seperti saat aku menemani dalam tidurmu
Sroog . . . sroog . . . sroog . . .
Berapa pohon yang telah engkau gergaji
Sroog . . . sroog . . . sroog . . .
Dan tetap saja, bagianku adalah berjaga-jaga,
Jangan sampai pengawas hutan melihat
Hal yang sedang kau kerjakan
Saat malam hingga pagi tiba

Tiko, 20 juli, 2010

Sapa di pagi buta

Di Semarang mungkin masih malam,
Bintang - gemintang masih bergelantungan di langit-langit, dan
Dingin udara sehangat suhu kamar,
Sehingga,
Kekasih merasa nyaman dalam lelap tidur nan panjang . . .
Jogjakarta pun tak jauh beda,
Ayam telah menyapa sahabat mereka,
Yang selalu setia menemani malam,
Dalam sunyi dan diam.

Tiko, yogya, 19 juli 2010