Empat-Kosong


Sebetulnya, saya tidak terlalu berambisi menuliskan hal ini, tetapi malam itu Empat-Kosong; berbisik : Sempat tidak sempat, ditulis dong,…, yowislah kutulis juga untukmu.
dan dengan menyempatkan diri menuliskan ini, juga bukan berarti AC.MILAN adalah tim yang tidak berkelas, atau Manchester Utd. (MU) adalah segalanya. Saya tetap menaruh hormat pada skuad Merah-Hitam, dan para Milanisti, termasuk kepada my pren Kope’ yang selalu setia mendukung Milan.
Suguhan permainan mereka sebetulnya sama-sama bagus, dan begitulah permainan, kadang menang-kadang kalah, dan kadang harus seri, dan malam itu mungkin MU lebih beruntung dibandingkan Milan. Banyak yang bisa ditulis dari dua leg pertemuan mereka. Bagi seorang yang masih aktif maen bola, tentu lebih menyenangkan jika yang dibahas adalah keindahan tehnik, kualitas pemain, dan strategi team. Karena sudah lama absen maen bola, dan cuma sering duduk dibangku penonton sebagai sporter, akan saya coba menangkap bola –bola yang berada diluar lapangan saja, dari pertandingan tersebut.
Mari tidak usah terlalu mengingat dua gundulan spektakuler “Gundulan Pisang dan Gundulan Tiba-tiba” dari anak muda, yang menjadi moment penemuan kepercayaan diri kembali, bahwa kepalanya juga tak kalah tajam dari kedua kakinya, dan akhirnya ketajaman gundulannya kembali dibuktikan dek Rooney ketika main di kandang MU, Old Trafforld Stadion. “Lagi On fire”, para pengamat sering mengatakannya. Proses terjadinya dan aspek keindahan gol yang tercipta dimalam itu tidak akan di bahas disini, paling ditelevisi dan Koran sudah banyak yang mengulasnya.

Bola itu bundar, banyak sisi sudut pandang yang dapat kita lihat dari sana. Sebagai sesama penggemar permainan sepak bola, Setidaknya ada tiga hal menarik yang diajarkan dari kawan-kawan suporter Setan Merah di sana.
Manch. United identik dengan warna merah, julukannya adalah the Red Devil atau setan merah, dengan warna seragam utama merah membara sebagai ciri khasnya. Jika United main di Old Traffold, para pendukung setia akan memerahkan stadion dengan atribut serba merah. Namun ada yang berbeda dengan malam itu, mereka, para sporter united mengikatkan syal dileher, dengan warna yang berbeda. Yaitu warna poleng atau selang-seling antara kuning dengan hijau, ada apakah gerangan? Ya, itulah kelebihan tingkat intelektualitas yang dimiliki mereka. Itu adalah sebuah pelajaran budaya yang baik, dan menarik. Kefanatikan mereka terhadap warna merah, tak menghalangi untuk mengolah dimensi fikiran lebih jauh. Merah sering diartikan dengan keberanian, semangat. Tetapi ada juga makna yang laen, yaitu kesepakatan bersama di antara kita terhadap nyala lampu traffic ligh di jalan raya. lampu merah kita maknai berhenti, lampu kuning bersiap, lampu hijau kita jalan. Maka diambilnya dua warna; kuning dan hijau itu adalah sebagai bahasa non verbal yang cerdas untuk perjalanan United di babak 16 besar kemaren..
Di Inggris lagi musim dingin, tetapi ribuan pendukung United tetap datang dan setia ke stadion dengan keinginan yang sama, United jalan terus, melaju menuju ke babak perempatan final Liga Champion. Syal yang juga difungsikan sebagai penangkal rasa dingin, media penghangat, dan tentu saja menjadi produk merchandise yang memiliki itungan menejemen ekonomi tersendiri. Syal berwarna kuning- hijau terbukti sangat efektif dalam menyampaikan pesan dan aspirasi merek,a ketika ribuan pendukung mereka mengikatnya di leher, di atas kaos merah kebanggaan United. Coba bayangkan perasaan apa yang meliputi pemain united ketika melihat itu, dan seberapa besar efek suntikan moral yang didapatkan saat melakoni pertandingan tersebut.

Kedua kritik terhadap sistem menejemen yang dewasa juga ditunjukkan mereka. Dengan membentangkan spanduk raksasa dengan tulisan LOVE UNITED HATE GLAZER, apa artinya, Glazer adalah salah satu pemilik modal besar di united yang berasal dari Amerika Serikat. Kabarnya ia lagi mengalami kusulitan keuangan, dan salah satu solusi yang akan diambil adalah dengan menjual pemain-pemain bintang ke klub lain. Tentu saja hal ini tidak di sukai oleh pendukung united, karena akan berimbas pada kualitas permainan team dan prestasi yang akan diraih. Kepedulian suporter yang merasa memiliki United begitu besar, Tanpa takut-takut memungkinkan hadirnya tulisan itu. Setidaknya memberitahu ada sesuatu yang perlu diketahui lebih jauh oleh publik dan suporter yang laen, kenapa Glazer di benci, padahal statusnya adalah pemilik klub tersebut.
Welcome home Becks, tulisan itu juga sering di tangkap kamera, tulisan dalam bentuk spanduk itu juga dibawa oleh sporter MU, itu adalah kalimat hangat penuh nuansa cinta dan kerinduan, rasanya seolah ditujukan kepada anggota keluarga yang disayangi ketika pulang ke rumah setelah berpergian cukup lama dan jauh. Dan sepertinya memang seperti itulah adanya. Siapa sebenarnya Becks? Beckham adalah pelikan emas yang pernah dimiliki United, ia jebolan akademi sepak bola United, namanya melambung bersama united karena perannya mempersembahkan treble winner di tahun 1999. Dan untuk kali ini ia datang dengan berseragam Milan tim yang sekarang dibelanya setelah sempat juga sebelumnya membela LA Galaxy dan Madrid. Beckham pun menyambut hangat sambutan spesial yang diberikan kepadanya oleh suporter United dengan berjalan menatap penonton dengan senyum mengembang dan memberikan tepuk tangan balasan sebagai ungkapan rasa terima kasih terhadap mantan penggemarnya. Datang sebagai rival, tak tak mengurangi keprofesioalisme Beckham terhadap mantan teamnya, terbukti ia selalu memberikan umpan2 manja kepada barisan depan Milan, tetapi saying tidak mampu di maksimalkan striker Milan dengan baik. Bahkan Beckham juga sempat mengejutkan publik Old Trafforld dengan tendangan first time yang sangat keras kearah gawang, untung tendangan itu masih mampu ditepis keluar oleh kiper om Van der Sar. Ya, United tidak melupakan sejarah, kenangan indah yang pernah dimiliki mereka, Beckham dan Sporter United sangat njawani dalam hal itu.
Keesokan harinya, tgl 11 kebetulan ada acara kumpul-kumpul Areezan dirumah temen, biasalah klo ketemu teman ada ritual berjabat tangan, karena hal itu bisa memper erat hubungan batin antar teman. Salah satu penggemar United disana, karena kebetulan datangnya lebih awal, dengan cengengas-cengenges mengucapkan terima kasih, ketika teman-teman yang datang belakangan menyalaminya. Ternyata dengan berkelakar; teman-teman yang menjabat tangannya diposisikan sedang memberikan ucapan selamat ,” terima kasih2… telah memberikan ucapan selamat..” ucapnya, karena MU; tim favoritnya habis menang besar dari Milan.
Ah… ada-ada saja.

dek Tiko, 13,03,2010

KOREKSI KASIH SAYANG IBU DAN ANAK

Secara gak sengaja ku temukan sebuah peribahasa yang berbunyi: Kasih Ibu sepanjang jalan, Kasih anak sepanjang penggalan; yang artinya disitu ditulis: kasih sayang ibu tiada terbatas, tetapi kasih sayang anak terbatas tak tetap, kadang-kadang ada dan kadang-kadang pula tidak ada. Dahiku menjadi berkerut setelah membaca kalimat itu; benarkah kita sebagai anak menerima peribahasa ini dengan serta merta dan menelannya tanpa mau mengunyahnya terlebih dahulu?
Lalu bagaimana pepatah itu sampai tercatat dalam khasanah peribahasa Indonesia. Siapakah orang yang pertama kali mengatakannya, dan dengan inspirasi serta argumen apa sehingga pepatah itu sampai terlontar dan ditulis oleh para pencatat?
Apa karena kita mempunyai lembaran-lembaran catatan dari masa lalu seperti kisah malin kundang, si umang, dan mungkin cerita-cerita lain dari daerah kalian, sehingga pepatah itu menjadi sah kelahirannya; ataukah melaui penelitian dan pengamatan yang cukup lama sehingga menangkap gejala yang kuat terhadap indikasi polah tingkah anak-anak saat itu yang memang kurang serius dalam membalas dan memberi timbal-balik atas kasih sayang dari ibunda-nya; Jika indikasi kedua itu benar adanya berarti tidak ada yang salah dalam peribahasa tersebut karena mengungkapakan sebuah kenyataan. Lalu pertanyaan berikutnya sejak kapan peribahasa itu muncul? Dan apa imbasnya? Bukankah dalam siklus yang normal seorang anak perempuan juga akan menjadi ibu, lalu akankah menjadi semacam mata rantai hutang anak kepada ibunya yang sangat panjang, Kemudian disusul oleh pertanyaan; apakah kita sebagai anak merasa bangga karena telah mewarisi dan akan meninggalkan warisan selarik peribahasa seperti itu? Dan akhirnya sebagian teman yang lain menggunakan peribahasa itu untuk menjadi pemakluman atas tingkah lakunya kepada ibunya, atau jangan-jangan pepatah itu ditujukan lebih spesifik kepada laki-laki? Kemudian untuk bapak-bapak-pun ikutan protes karena cemburu tidak di sebut serta dalam peribahasa tersebut? Belum lagi pertanyaan yang nanti keluar dari seorang ibu, yang yang pernah menceritakan kisah hidupnya ketika ibunya meninggal saat usianya belum genap tujuh tahun, ia tak ingat dan tak ada rekaman pribadi kecuali transformasi kasih sayang ibu yang dititipkan melalui kakak-kakaknya yang berjumlah tujuh dan ia menjadi lebih beruntung lagi karena masih ada catatan silsilah keluarga ibu yang jelas, yang membantu sedikit banyak mengenali siapa ibunya sebenarnya.
Beberapa hari yang lalu, aku mendengar dan melihat kabar berita lewat televisi tentang seorang ibu yang tega menjual anaknya seharga satu setengah juta rupiah. Uang hasil penjualan bayi itu digunakan mengganti hand phone milik tetangganya yang ketahuan telah ia curi sebab hp tadi teranjur dijualnya ke sebuah counter. Beberapa minggu sebelumya adekku “keceplosan” cerita tentang kawan kos-nya yang nekad melakukan aborsi terhadap janin dalam kandungannya karena ia belum menikah dan masih tercatat aktif kuliah di semester 5. Dan dalam beberapa hari ini semakin terkuak koreng kita lewat maraknya berita penjualan anak, aborsi, ibu yang tega meninggalkan anaknya yang baru dilahirkan di kebun, pos ronda maupun di tempat sampah. Kenyataan itu sungguh seharusnya membuat miris bagi siapa saja yang bersedia membuka mata dan telinganya. Lalu siapa yang bertanggung jawab atas itu semua? Kita tidak bisa serta merta menyalahkan ibu itu, kita harus lebih arif melihat persoalan ini. Karena latar belakang perempuan ketika melakukan aborsi bisa berbeda-beda dan penanganannya pasti juga berbeda. Dan catatan kecil ini memang tidak ditujukan untuk lebih jauh mengupas itu. Mungkin kawan2 yang akan gantian mengerutkan dahi, karena masalah aborsi, penjualan anak ini lebih serius dan esensial di banding ngomongin sebaris peribahasa yang cenderung provokablur. Yah siapa tau dari temen-temen ada yang mulai berbagi bunga pikiran, pengetahuan, serta ilmu tentang hal itu nantinya.

Sedikit mengengok kebelakang
Melihat kenyataan di depan mata seperti itu, bukankah peribahasa tadi harus dirombak, di revisi jika azas yang digunkan dalam memunculkan sebuah peribahasa adalah potret kenyataan. Dan jika kita jujur kira-kira bisa seperti ini bunyinya: Kasih Ibu semakin terpenggal, lha dititipi anak malah di buang;
atau Kasih ibu telah hilang di jalan, Kasih Ibu terjengkang-jengkang, dst. tetapi bukankah peribahasa itu nantinya akan menjadikan semakin runyam dan tidak terjadi penyelesaian yang indah?
Bagi Bapak bolehlah GeeR untuk dapat belajar mencintai, mengasihi dengan luar biasa besar kepada anak-anaknya, berkacalah kepada Ayyub AS. sehingga kwalitas dan keyakinan cintanya kepada anak-anaknya terlebih kepada Yusuf AS. mampu menyembuhkan kebutaan, sakit dan uzur karena usia, padahal baru mencium bau keringat anaknya lewat sebuah baju yang diselipkan dalam bungkusan.
Untuk para Ibu tak perlu dibahas, karena sudah jelas para ibu-lah yang memperoleh hak istimewa itu karena titipan rahim ada dalam perutnya. Ketika dalam wujud pertemuan air mani dan sel telur, gumpalan daging, dan seterusnya hingga waktu yang ditentukan untuk lahir, dalam prose situ jabang bayi selalu merekam kondisi pikiran, perasaan, makanan dari ibu yang mengandungnya, mungkin karena itu naluri ibu lebih cakap dan peka dalam mengasuh dan melindungi dan anaknya.
Sebetulnya ada referensi menarik sebuah kaca benggala dari kisah Maryam ibu nabi Isa AS. bagaimana ia rela menjauh dari keramaian masyarakat demi memutuskan tetap amannya sebuah kelahiran anak yang tidak mempunyai ayah. Ada juga ibunda nabi Musa AS. yang memutuskan menghanyutkan anaknya di sungai demi menghindari kebengisan Fir’aun yang melakukan pembantaian besar-besaran terhadap anak laki-laki karena menerima bisikan dari dukunnya kalau telah lahir bayi yang akan menjatuhkan kedudukannya kelak. Tetapi karena ke Maha Besaran Tuhan, Musa kecil diskenario hingga ditemukan istri Fir’aun dan dibesarkan melalui istana, sampai mengerti siapa sebenarnya dirinya. Berkaca dari peristiwa itu, sungguh ironis jika dibandingkan dengan jaman sekarang. Dahulu seorang ibu, rela “membuang” anaknya dengan harapan sang anak dapat selamat, sekarang ratusan mungkin ribuan dan mungkin juga tak terhitung lagi kejadian seorang ibu membuang, bahkan membunuh bayi dan anaknya demi alasan kehidupan ibunya sendiri. Bahkan menggunakan dalih kesulitan ekonomi.
Hah, beralasan dengan dalih ekononi, geleng-geleng-geleng… membaca kenyataan itu, jangan naik pitam dong, terus mengatakan: Hai pemerintah apa kabar? Dari sisi pemenuhan kebutuhan ekonomi bagi rakyat, sepertinya engkau lebih kejam dari Fir’aun. Sehingga mereka sampai hati memenggal sendiri leher anak mereka, sebelum engkau perintahkan. Hai pemerintah, bukankah di sini gudang segala kekayaan? Ah, sudahlah, Kasihani mereka, nanganin satu-dua orang yang terlibat kasus century aja blibetnya bukan maen, padahal sudah di demo dari ribuan saudara kita di sana-sini, masa terus kita paksa todong ngurusi ribuan orang kelaparan di negri ini… ah mimpi kali yee…

Version of Indonesianian
Tapi mungkin benar juga, jika kasih sayang ibu-ibu kita begitu besarnya. Ini kan Indonesia, negeri yang penuh kasih sayang dan cinta antar anggota keluarga. Nilai-nilai kekeluargaan masih dijunjung begitu tingginya. sehingga sampai-sampai aku temui ibu-ibu bekerja di terik matahari sebagai buruh kasar dalam proyek pembuatan perumnas. Jam dua dini hari adalah jadwal ibu-ibu yang sudah sangat berumur, mengayuh sepedanya dari desa yang pelosok- waktu sebagian besar orang tenggelam dalam hangatnya kasur empuk, mereka turun gunung menuju pasar kota dengan membawa sedikit hasil kebun dan sayur yang dipetiknya dari pekarangan rumah dan petakan sawah kecil miliknya. Dan ketika selepas isyak masih akan kau temukan sesekali seorang dua orang ibu yang masih setia mangkal atau dijalanan kota jogja mencari seseorang yang membutuhkan jasa antar-jemput mengunakan ojek atau motor taxi-nya, bahkan kalau kamu suka menyusuri lorong-lorong di sonoh, masih ada juga ibu-ibu yang terpaksa bergadang sampe subuh menjajakan tubuhnya untuk “di ojek” demi menghidupi kebutuhan keluarganya. Bisa di bayangkan betapa kuatnya mereka, belum setelah itu menyelesaikan pekerjaan dirumah masing-masing. Dan bisa dibayangkan betapa kesalnya kita, kalau tahu, anak-anak mereka tidak serius dalam memaknai perjuangan orang tuanya. Bahkan rasanya pengen njitak anak-anak itu kalo tahunya mereka hanya merengek dan minta dituruti segala mau-nya.
Ini Indonesia dek, mari kita tengok lagi lebih jauh, masih adakah di lingkungan RT kita, seseorang yang sudah berkeluarga, sudah punya anak, tetapi hidupnya masih ditopang sama orang tuanya, syukur orang tuanya masih mampu, dan masih ada juga orang tua yang enggan menyapih anaknya walaupun sudah seperti itu.
Pernah aku iseng-iseng bertanya kepada orang tua yang seperti itu, jawabannya ada saja, ada yang bilang kasihan, masih jadi kewajiban, orang tua enggan jauh dengan anak, orang tua kerja kalau bukan untuk anak untuk siapa lagi, dll. begitulah yang sering kujumpai. Wajar saja terlahir peribahasa ;Kasih Ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang penggalan- di Indonesia; lha kultur dan psikologi masyarakat seperti itu.
Peribahasa tadi jika hanya dimaknai sebagai potret dari kultur dan psikologi masyarakat sepertinya kurang tepat dan menjadi bias maknanya. Di jawa khususnya diajarkan banyak sekali tata krama, atau lebih dikenal sebagai unggah-ungguh. Orang yang lebih tua harus lebih dihormati, sehingga lahirlah khasanah bahasa yang bertingkat. Ada Ngoko, Kromo Madyo, Kromo Inggil dengan spesifikasi penggunaan sendiri-sendiri. Merendahkan diri dihadapan orang lain itu biasa, apa lagi dihadapan orang tua. Orang jawa bilang; iso kuwalat nek wani-wani karo wong tuwo. Dan seringkali ilmu merunduk, membungkuk itu digunakan untuk memudahkan mengambil keris, senjata orang jawa yang disimpan di pinggang belakang. Sehingga ketika anak ingin meminta sesuatu cukup dengan ngisik-isik sikil orang tuanya, sehingga terkabullah apa yang menjadi niat dan keinginannya.
Atau sebaliknya, pribahasa tersebut bisa menjadi bumerang bagi mereka yang GeeR apalagi sampai menyebar kedalam ranah kehidupan sosial yang lain seperti pemahaman orang lebih tua selalu lebih unggul dibanding yang lebih muda umurnya, orang tua selalu benar, Pemerintah sebagai ibu selalu melakukan keputusan terbaik dan salah rakyat sebagai anaklah yang selalu tak puas dan tak tahu terimakasih. Dosen selalu benar dan mahasiswa tempatnya keliru, penceramah lebih mulia dari orang yang di ceramahi, dst.

Hak cinta anak dan orang tua?
Setelah berbicara sedikit panjang lebar, untuk menghindari semakin bias makna antara orang tua dengan anak; dalam mengolah peribahasa bolehlah sedikit kita utak-atik, supaya lebih luas, lebih fair dan semoga menjadi lebih adil dari sebaris peribahasa. “Kasih Ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang penggalan”, kemungkinan menggunakan jarak pandang yang begitu pendek, semangatnya di dunia saja atau sampai sebatas usia hidup di dunia. Mari kita coba melihatnya pakai khasanah dari Islam, yang menggunakan jarak pandang dunia dan akhirat; Rasullulloh pernah bersabda: Apabila seseorang telah meninggal dunia, maka terputuslah semua amalnya kecuali tiga macam, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang dapat diambil manfaatnya, atau anak sholeh yang mau mendoakannya.
Disana dikatakan anak sholeh yang mau mendoakan orang tua, walaupun mereka sudah meninggal dunia masih di hitung sebagai amal untuk orang tua. Bukankah itu sebuah kalimat arif bagi orang tua sekaligus bagi anak. Yaitu sebagai alasan bagi orang tua untuk selalu berusaha mendidik anaknya menjadi sholeh sehingga kelak menjadi infestasi setelah dirinya meninggal, kemudian bagi anak merupakan dalil untuk selalu dapat membalas kasih sayang kepada orang tuanya walaupun orang tuanya telah meninggal dunia. Jika kita kembali kepada peribahasa Kasih Ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang penggalan; bukankah lebih baik kita koreksi menjadi: Kasih ibu tak putus sepanjang jalan, Kasih anak tak habis sepanjang hayat. Yang artinya kasih sayang itu tak terputus oleh lintasan ruang - waktu, sehingga tak ada batasan bagi anak dalam berbakti kepada ibu karena kasih sayang ibu selalu melekat di hati. Dan tentu saja itu termasuk persembahan cinta bagi saudara kita yang menjadi yatim sejak kecil.

Samitalona, Jagan, 22-02-2010