Kartika Prawiro, Baju Kebesaran, 2009




tiko, 150 x 120 cm, AOC, 2009

RESTU

Kuas datang kedalam lamunan gelisahku, "apa kabar mas,.. " sapanya, akupun cuma melirikkan bola mataku, menyambut dengan dingin sapaannya. Rasa-rasanya aku ogah untuk mengomentarinya, jangankan berkomentar menatap dengan sungguh-sungguh pun terasa jengah.
Mungkin terlihat janggal dalam pandanganmu, bahkan untuk kami sendiri. Mungkin dia juga merasa muak dengan tingkahku. Kata mereka yang mengutip dari bermacam jenis referensi ramalan entah itu weton, astrologi, tarot, garis tangan, dan lain-lain ditulis kami berjodoh?? (entah), tapi aku tak ambil pusing, karena memang selama ini kami “dengan prinsip sama-sama senang” tanpa ikatan telah “jalan bareng” ya kira-kira selama 12 tahun tanpa tuntutan yang berlebihan dari masing-masing, tetapi sebagai seorang lelaki, aku merasa selalu harus bertanggung jawab kepadanya, oleh karenanya perlakuan baik sebagaimana mestinya selalu ku berikan, dan selama itu pula, dia pun menerimaku apa adanya. Dan kami berjalan menyusuri waktu dengan menggenggam kalimat sakti: Masa Bodo Apa Kata Orang. Seiring waktu berlalu, musim berganti, hingga tiba juga saatnya untuk kami, mempertanyakan kembali apa yang telah kami perbuat dan hasilkan selama ini… tentang keyakinan, keindahan, cita-cita, mimpi, dan kalimat-kalimat sakti hingga kedekatan hubungan aneh ini.
Apakah ini bentuk sebuah penghianatan? Apakah ini sejenis tehnik kerok dan tusukan dari belakang? Atau jangan-jangan sebuah adu domba pemainan harga pihak ketiga? Ah… sepertinya tidak, selama ini dia dan aku tidak ada masalah dengan parau sumbangnya keheningan waktu…
Akupun kembali merunduk merenung, “tidak…, memang tidak bisa dibiarkan berlarut-larut.”

Aku tak bisa terus bersikap seperti ini, seperti sikap wanita yang hanyut dalam hayal minta dirajuk kembali oleh kekasihnya yang telah pergi. Aku seorang lelaki, lelaki sejati, lelaki tulen… pejantan dan tangguh. Lalu, ku pegangi erat gagangnya… "aku akan membawamu kepada mereka, kepada siapa saja."
"Aku tahu kita hidup di dunia yang aneh, dunia yang harus ada legalitas, baju, kopiah, kursi dan sendal. cinta harus mempunyai ijin mereka, cinta harus ada restu mereka."
"Oleh karena itu, akan kubuktikan kembali kembali untukmu… untukku, apakah restu dan surat ijin itu bisa diberikan mereka kepadaku kepadamu kepada kita."
"Kalau mereka memberikannya, tak jadi masalah untuk kita kembali bersama, tetapi jikalau masih juga tak kunjung tiba, aku berjanji,
berjanji membawamu serta ke jalan dan gang yang kebanyakan dari mereka berpaling darinya.

Tiko, September, 2009

DILEMPAR BATU

Kadang ku dilempari batu. Entah oleh siapa dan dari mana. Kusangka dari arah semak-semak di kiri dan kananku yang begitu rungkut. Atau dari atas pohon-pohon besar di depan sana atau di belakang tadi, tapi aku tak ambil peduli, aku terus berjalan.
Setelah sampai di jalan panjang itu, kulihat rumah besar, megah dengan halaman luas. Limapuluh macam bunga ditanam disana. Taman dan air mancur dan sebuah kolam yang penuh dengan ikan koi ada disana. Beberapa karya instalasi dan patung menambah semarak suasana.
Kadang aku mendapati rumah itu sangat ramai karena orang-orang berdatangan kesana. Biasanya hal tersebut terjadi 2-3 kali dalam sebulan. Disana berlangsung acara yang meriah dengan orkes dan gambus dengan biduan yang aduhai bahenolnya, dengan setelan celana pendek hampir ke pangkal paha dan baju ketat menggoyang mereka yang ada di sana. Kadang juga musik-musik cadas menderu dan meraung menghentak jantungku walaupun aku hanya sekedar lewat disana, di jalan depan rumah besar itu. Kata mereka di dalam gedung tersebut dipajang lukisan-lukisan yang besar, besar ukurannya, besar pelukisnya, dan besar-besar yang lain.
Pernah aku sesekali berhenti dan menyapa beberapa orang disana, mereka sangat ranah dan bersahabat. Padahal aku belum belum pernah bertemu mereka, tetapi mereka memperlakukanku seperti sahabat dekat, penuh kasih sayang. Mereka mengajakku ke dalam, tetapi aku menolaknya dengan halus. Aku takut sebenarnya takut dan malu, takut tidak bias membalas kebaikan mereka dan malu jika mengotori lantai dan kursi dan mejanya. Akupun mengucapkan terimakasih, dan berharap bertemu dengan kebaikan seperti yang ditunjukkan mereka di perjalananku selanjutnya. Tidak lupa aku jabat tangan mereka dengan mesra dan untaian kata mutiara salam kuberikan. Dan akupun kembali melangkahkan kaki, baru beberapa langkah seperti yang sudah-sudah beberapa batu menimpuk tubuh dan kepalaku entah dari mana dan siapa.
Kanjeng nabi, ketika engkau dilempari batu tidak pernah engkau marah dan membalasnya, bahkan engkau mendoakan untuk kebaikan mereka. Oleh karena itu, untuk menguatkan dan menghibur diriku, ijinkan aku untuk berjalan di belakangmu.

Tiko, feb,2009

Meniti Kesadaran, 2007



100X150cm
aoc, 2007