Nggodani Macan




















150 x 150cm
akrilik diatas kanvas 2008

Deskripsi Karya:
Terdesak, menjadi ketakutan karena menemui hal-hal yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya.
Bertemu dengan sebuah kekuasaan yang represif, merasa unggul disegala lini
menjadikan sang macan sewenang-wenang. Ia mencegat di perempatan jalan,
mengasih tahu jalan-jalan yang baik dan buruk sesuka hatinya. Macan ini kelihatan berbahaya sekali,
dan bagi yang belum tahu seluk beluk dan latar belakang si macan
pasti mudah sekali untuk ditakut-takuti atau bahkan dimakan mentah-mentah.
Jika seseorang melewati jalan itu haruslah terpaksa ber-acting menunduk-nunduk,
meminta ijin untuk lewat.
Ternyata setelah diintip lebih dekat, dan jika kamu tahu,
ternyata macan tersebut macan jadi-jadian, tidak serem, bahkan lucu. Macan itu butuh bermain,
ya akhirnya, asyiknya diladeni untuk bermain saja,
sebelum melanjutkan perjalanan yang lebih jauh.



Aryak Bisu II

(diucapkan dengan halus & lembut)

Apa yang kau katakan : Vaskun? Tac? Gurapi?
Kau bilang kau Isanluk?
Jadi kamu yang disebut Isanluk?
Lho kok diem saja? …. marah ya?
Iya, kamu cantik dech, manis dech
Tapi ngomong dong, jangan Cuma nampang

tiko, nov 08

Aryak Bisu I

Ha. haa. ha
Huu . huu . hu..!
Hwa – hwa – hu (croot)
hih – hih
Hwa A . aaa. aaaa!!
huh (sreet)
Hwa . Hwu
(werrs)
Hwa

tiko.nov.08

Untukku Anjing

“Anjing kau!! Termasuk jenis yang mana engkau yang berani-beraninya menggonggong di depanku!”

“Jenis-jenis diatas terlalu eklusif, sedangkan aku anjing kampong, kudisan, tak punya asal-usul jelas, makannya kalau ada pesta anjing, aku tak pernah diajak. Mungkin karena itu aku selalu nekat nongol di bawah kursi paling belakang, dan sesekali mencari sisa-sisa makanan saat pembukaan. Seperti kebanyakan kami para anjing dahulu, sebagai para snacker.”

Tiko.nov.08


Bukankah yang menggonggong Cuma engkau?. Nyatanya teman-temanmu gak ada yang peduli. Artinya engkau sendiri yang anjing. Kau memang aneh- anjing teriak anjing – itu tidak ada dalam terminologi bahasamu. Bukankah yang ada dan selalu masih berlangsung adalah maling teriak maling. Atau jangan-jangan engkau sejenis anjing pelacak milik polisi, yang bisa mengendus kejanggalan, mencari tahu yang terjadi, lewat jejak-jejak yang ditinggalkan mereka walaupun tersembunyi dalam gelap. Ah, itu terlalu berkelas. Dari potonganmu yang kusam, kerempeng, bau dan kudisan, menunjukkan kamu termasuk anjing kelas rendahan.


Mana mungkin kamu diajak pesta mereka. Itu bisa mengganggu kenyamanan mereka. Gelak tawa dan senda gurau bersama tamu undangan mereka. Mengajakmu sama juga menurunkan kelas mereka. Apalagi kalau ada kolektor tua yang lupa bawa kaca mata, melirik karyamu dan mengatakan karyamu lucu, bagus, itu yang berbahaya dan merupakan ancaman karena kolektor itu-kan yang ngundang mereka, sohib dan kenalan mereka. Apalagi jika sampai tanya alamat dan nomor rekening. Itu seperti tamparan di pipi kiri.


Paling kamu golongan anjing sakit hati. Salah sendiri selalu nongol di acara mereka, padahal tak diundang. Anjing yang nekat duduk dibawah kursi paling belakang, dan selalu berebut sisa-sisa makanan saat pembukaan pameran dengan kebanggaan romantisme snacker dari selatan. Sementara mereka yang di dalam sibuk tawar-menawar dan memberi lingkaran merah pada lembar judul karya di samping lukisan. Sedangkan kamu melihatnya sambil menahan lapar. Mata sayu dan air liur yang menetes deras diantara gigi taringmu mengatakan itu.


Anjing tidak perlu eksistensi

Anjing tidak mengumpulkan makanan

Maka jangan mencoba mengejar itu

Kecuali anjing peliharaan

Yang gagah bila diajak jalan-jalan

Sesekali diikutkan kontes

Untuk memperoleh penghargaan

Menambah riwayat pengalaman

Anjing liar, Anjing hutan, Anjing comberan

Menggonggonglah sesukamu

Kafilah tetap berlalu

Persaingan Anjing

tiko, nov.08

Disebuah bangunan bernama pasar dan wacana yang berdiri megah, didatangi segerombolan anjing liar. Di depan pintu yang berukir indah, mereka menggedor, menendangnya, menggonggong keras, berteriak-teriak namun tak kunjung dibukakan jua. Karena mereka yang di dalam lagi dugem, berjojing ria, sebagian lagi memakai earphone dengan musik yang menghentak keras.

Dasar anjing. Yang tak kuat menahan lapar akhirnya pergi menyusuri jalanan. Mencari sisa makanan di tempat sampah. Sesekali di lempar batu dan di tendang anak-anak. Sementara yang bertahan dipintu dengan setia walau tubuh gemetar karena lapar masih juga berharap kepada mereka yang di dalam membukakan pintu. Angan mereka adalah menjadi seperti anjing beruntung yang di banggakan tuannya di dalam.Persaingan antar anjing memang sengit, kampus-kampus dimana mereka belajar memang mengajarkan persaingan. Anjing pudel belajar bagaimana tampil cantik, anjing herder balajar nampang serem, anjing srigala belajar menggonggong saat malam purnama. Estetikanya artistik anjing, kecerdasannya imajiner anjing, finisnya kontemporery anjing. Naluri keanjingan mereka adalah melindungi tuannya dan hartanya dari pencurian. Ketika anjing-anjing lain mendekat, artinya sinyal ancaman bagi mereka.


Belajar berbagi cuma mereka dapatkan ketika semester-semester awal, dengan metode gelas dan teko. Teko berputar mencari receh dan ribuan. Setelah sampai ujung teko berganti isi menjadi minuman. Gantian gelas berputar. Mempertemukan bibir-bibir mereka dengan bibir gelas yang satu. Menjadi sebuah kenangan yang menghangatkan.

Dalam dunia anjing kerugian yaitu ketika tuannya memiliki peliharaan anjing lain. Karena itu kasih sayang tuannya harus terbagi. Otomatis berpengaruh pada menu makanan yang diperolehnya. Apalagi kalau jenis saingannya adalah anjing berkelas dan mahal, pastilah lahir arogansi tersendiri.

Hal yang membahagiakan adalah ketika tuannya mengajak jalan-jalan bertemu dengan kolega. Kesempatan tersebut tentunya digunakan untuk mencuri perhatian mereka, untuk sekedar dibelai, dicubit, atau dikasih roti dan tulang di muka atau di belakang si boss. Hal tersebut dikenal dengan istilah polianjing, dan sah di dunia anjing. Bahkan merupakan cita-cita anjing yang selalu ditutup-tutupi.

Tempat Untuk Sembunyi

Tiko, okto 2008


Bukan lagi muluk dalam berkesenian
Tidak berangan memiliki rumah gedongan
Mobil dan motor yang harganya ratusan juta rupiah
Lukisan dengan harga milyaran rupiah
Diantri berjajar puluhan kolektor
Dijunjung-junjung kurator
Dilipstiki kritikus
Diulas tiap hari oleh koran dan majalah
Ditayangkan siang malam oleh televisi
Sebenarnya simpel saja, di apresiasi
Dengan wajar di ijinkan sesekali
Terpajang di dinding-dinding gallery sendiri
Maupun bersama saudara-saudaraku disana
Lukisanku tiap hari menangis
Drawing-drawingku mengerang
Coretanku menjerit…

Teriakannya pada suatu hari:

“Kenapa kau sembunyikan aku, kau sandingkan debu dan sarang

Kau gulung seperti tikar

Kau telingsutkan di gudang gelap nan lembab

Jamur, Coro, Tikus, Teter, Nyamuk

Mereka, mereka yang engkau suruh

Mengapresiasi aku, mencakarku, mengoyakku, mengencingiku.

Masih adakah manusia di situ!”

(Aku terperanjat) “Hey karya tolol, karya jelek, jangan salahkan aku. Seorang sahabat yang beberapa tahun lagi akan menjadi buah bibir, yang orang-orang akan berdecak kagum pada tehnik dan ide-ide karyanya mengatakan perbaiki terus karyamu.

Artinya emang kamu cocok jadi sampah.

Jangan memarahiku apalagi mempengaruhiku.”

“Tapi aku telah kau buat, telah kau lahirkan. Engkau bertanggung jawab penuh- kau harus terima bagaimanapun aku.”

“Aku mengerti itu, dan bukan berarti aku tak mau memperkenalkanmu, mengeluarkanmu, menunjukkan rupamu kepada mereka, melainkan melainkan mereka tak ada yang mau menoleh kepadamu, mereka hanya melihat sesuai dengan yang dinginkan perut, mata, telinga, dan kelaminnya, sesuai dengan kesenangannya.

Jangankan melihatmu, melihatku saja harus sesuai dengan penalaran mata mereka.”

“Dan kamu membela mereka”

“Bukannya begitu, aku adalah bagian dari keseluruhan mereka”

“Bagaimana jika nanti kamu harus mempertanggung jawabkan ini semua”

“Aku juga tidak tahu, harus berbuat bagaimana lagi. Apakah aku harus menggali lobang-lobang terowongan cacing untuk bersembunyi dari terik matahari ini, sedangkan kenyataannya sudah tidak ada lagi tempat untuk bersembunyi.”