JATUH CINTA

Pada suatu hari aku cuma ingin jalan-jalan ke gallery, bukan satu atau sesuatu gallery melainkan kusatroni semuanya, tetapi dengan cara diam-diam. Mulutku kututup erat dengan kedua tanganku yang kurasakan semakin hari semakin lebar. Kulangkahkan kaki dengan mantap dari kosku yang semakin sesak dan pengap, entah karena apa.
Pada hari itu mataku kubiarkan jelalatan. Kulirik kiri, kulirik kanan, kutatap atas, kuintip bawah, hik.hik.hik… siapa tahu ketemu yang sedang aku cari.
Jangan pikir aku sedang cari ide hebat,
Jangan sangka aku lagi cari wacana bermutu tinggi,
Jangan curigai aku hendak “nyunggi” atau memuntahi karya seseorang,
Jangan kira aku mau memetakan sesuatu atau merancang sesuatu. Sudah beberapa lama tanganku telah kulatih untuk menunggu hari itu. Latihannya sih sepele; telapak tangan, disitulah fokusnya. Punggung dan muka dari talapak tangan. Aku cuma membolak-balik telapak tangan keatas lalu kebawah, keatas lagi kemudian kebawah lagi. Seperti itu berulang-ulang. Demi untuk menutupi suara kentut yang keluar dari mulutku yang semakin hari semakin tak terkendali. Tuut, thuuut, breet, thiiit dan sejuta nada-nada aneh sejenisnya.

Yang kucari di hari itu adalah yang ingin kulihat, bukan karya yang mengepalkan tangan dan berteriak-teriak, bukan yang sok filosofis, keminter, bukan karya yang merajuk, perayu ataupun penggoda, bukan karya yang penuh simpanan teka-teki masa lalu atau masa depan. Bukan karya yang cuek bebek dan tak peduli, bukan yang sok pahlawan atau pendamai, atau karya pewarta zaman kini, pengkhotbah, pendidik, atau apapun suara yang keluar dari mereka.

Dihadapan mereka aku meloncat-loncat, sesekali memutarinya dengan satu kaki. Kadang kupegangi tangannya dan berputar bareng. Sesekali juga aku iseng mencoleknya, bahkan kalau gregetan kucubit dia, padahal jelas-jelas ditulis besar di situ Don’t touch, mohon jangan menyentuh karya… ah bolehlah untukku dan untuknya, dia selalu menegurku masak aku tak menyapanya.
Dalam rapatnya kedua telapak tanganku mulutku tersenyum lebar. Jangan bilang siapa-siapa, matanya berbinar kepadaku, akupun membalasnya walaupun tanpa kata-kata.

tiko, jan. 2009

Hitam Putih Untuk Penggembala Tengik

Oleh : Tiko

Didik Wibowo marah-marah besar. Kopinya yang masih separoh di join ama cicak. Rencananya nglembur sanpai pagi terganggu oleh nekatnya sahabat kita yang satu itu. Untuk mengurangi emosinya ia pun terpaksa, maaf, mantek aji sebentar untuk berkomunikasi dengan cicak tersebut. Karena ia mengetahui marah tanpa mengerti sebabnya marah adalah kebodohan dan menyakiti sesama mahluk termasuk dosa walaupun itu adalah seekor cicak. Maka terjadilah komunikasi.

“ Hai, Cicak-cicak di dinding, engkau sungguh mulia.
Setiap hari engkau membantu menjagaku dengan melahapi nyamuk-nyamuk yang sering menggigit dan mengganggu di malam lemburku dan saat bobok ku.
Kiranya ada apa gerangan kali ini engkau yang merusuhi diriku dengan meminum kopiku dari gelas yang satu. Maka karena kebodohanku yang tak mampu menerima kejadian ini, berikanlah alasan yang memuaskan untuk meradakan rasa kesalku ini, kenapa engkau nekad mencicipi kopiku? ”

“ Ha.ha.ha.ha… cicak tertawa terbahak, kamu jangan cepat emosi, jangan cepat marah, ntar jadi cepat tua baru tau rasa. Lengkungkan dulu bibirmu dan berikan tatapan mata persahabatan padaku!.”

“ Iya, iya.. Didik terus mendesak, tapi mengapa engkau meminum kopiku. Kalau kamu haus bukankah banyak air disana, di bak kamar mandi atau dimana saja. Bukankah kamu bebas dari bermacam penyakit perut. Silahkan minum apa saja, tapi jangan kopiku!.”

“ Kamu jangan sok tahu sahut cicak. Bukankah kamu sadar aku selalu temani malam mu? Membantu mengurangi nyamuk dirumahmu karena mereka adalah makananku. Dan apakah aku selalu meminum kopimu? Apakah kau pernah menawari aku? Kau pikir aku mencuri kopimu? Sebenarnya dari tadi aku sudah meminta baik-baik kepadamu, Cuma engkau yang terlalu serius di hadapan karya senimu itu yang mengurangi kepekaan pendengaranmu. Sebenarnya begini, malam ini aku ngantuk berat. Badanku terasa capek.
Aku takut jika berjalan di dinding dan eternit nanti terpeleset dan jatuh, kan bisa jadi berabe. Aku ingat kemarin engkau berbicara dengan temanmu soal khasiat kopi, yang salah satunya adalah mencegah kantuk. Oleh karena itu aku ingin membuktikan sendiri kebenarannya.”

“ Ya udah jika benar itu alasanmu, aku menerimanya.
Padahal tahu gak, dari dulu nenek moyangmu juga memakai alasan yang sama untuk membenarkan perbuatannya.”

“ Maksudmu?” Tanya si cicak.

“ Apa kamu tidak pernah mencari tahu kenapa tahimu berwarna hitam dan putih. Hitamnya banyak dan putihnya setitik.” Cicak semakin tak ngerti.
“ Gini ceritanya; cicak nenek moyangmu dulu adalah sahabat nenek moyangku. Karena cicak binatang yang baik, ia mendapatkan anugrah untuk bisa melawan gravitasi. Ia bisa merayap di dinding dan eternit seperti kemampuan yang kamu miliki sekarang. Sampai-sampai tahinya pun berwarna putih. Sampai suatu hari moyangku membuat kopi nikmat di sebuah malam. Cicak moyangmu tergoda untuk mencicipinya karena mencium aroma wangi kopi tersebut. Iapun mengendap merayap dan meminum hampir separoh kopinya.”

“ Wuih.., yang bener ” sahut cicak.

“ Kemudian kakek moyangku mengintrogasinya, dan ternyata cicak tak mengakui perbuatannya. Padahal moyangku dengan mata kepala melihat kalau si cicak yang meminum kopinya. Karena itu ia pun mengucapkan semacam doa; jika cicak bohong maka tunjukkanlah semacam pertanda yang jelas kepadaku. Maka tak lama kemudian perut cicak terasa sakit dan tak tahan untuk berak. Alangkah mengejutkan bagi cicak, ternyata tahinya berubah warnanya menjadi hitam dengan sedikit putih. Ia pun dengan segera menyadari kekhilafannya. Syahdan hingga sampai saat ini keturunan cicak mewarisi warna hitam putih di tahinya dan keinginan mencicipi kopi milik manusia. ”

Cicak tadi pun tersenyum-senyum …
“ Maaf dech - maaf dech,” sambil nyelonong pergi merayap ke dinding kamar dan berhenti diatas sebuah lukisan.

“ Kamu ingin tahu pendapatku tentang lukisanmu” tanpa menunggu jawaban
“ Ini pendapatku ” sambil mleding berak menetes menjatuhi tepat di atas hidung figur manusia dalam lukisan “Bebek jagoan dan Penggembala tengik” miliknya.

Didik dan cicak tertawa terbahak-bahak bersama.

tiko, jan. 2009

KOPI PAHIT

Dia adalah seorang seniman yang biasa kerja malam, hidup dan menghidupi malam, sedangkan sebagian banyak waktu siangnya adalah untuk tidur dan main-main. Pada tahapan kehidupan berkeluarga, terjadilah sebuah dilema. Istri yang dicintainya belum mampu menerimanya apa adanya, sementara kariernya tak semulus angan dan harapannya apalagi ditambah tekanan dari keluarga si wanita. Kebutuhan hidup yang semakin mengganas dan mencekik memberikan tekanan berat bagi keluarga baru itu.
Disaat kondisi kritis dan terjepit itulah ia putuskan untuk banting stir dan terpaksa mengubah pola hidup menjadi bagai manusia umumnya. Ia bekerja di bengkel sepeda motor jika disana memerlukannya, ia sebagai kuli panggul di pasar jika dagangan es cendolnya tak kunjung laku. Ia pun membantu sebagai tenaga ajar di sebuah SD swasta walaupun cuma sekali dalam satu minggu. Ia melakukan apa saja dan dengan siapa saja selama itu halal demi mempertahankan keutuhan rumah tangganya. Disamping itu semua tentu saja meluangkan walau sedikit waktu untuk berkarya, yang katanya sih tuntutan dari lubuk hatinya.
Hal yang demikian tentu bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilakukan, karena waktu siang tersita untuk bekerja dan malamnya pun seperti biasanya diluangkan untuk berkarya. Namun apalah dikata, tenaga manusia ada batasannya. Kopi yang biasanya manjur sebagai penangkal kantuknya, sudah tak terasa efeknya di badan dan mata.
Akhirnya ia pun berkonsultasi dengan seorang dokter.
“Dokter, saya mempunyai masalah dengan rasa kantuk yang berlebihan, saya tidak bisa mengontrol keinginan tidur walaupun hari masih sore. Sedangkan saya masih pingin bekerja di malam hari. Saya sudah menyiasatinya dengan meminum kopi pahit di campur sedikit garam, tapi semua sia-sia, malahan tidur terasa nikmat sekali setelah saya minum kopi. Bagaimana saya bisa tahan untuk terjaga dok?”.
“Oh, kalau itu sebetulnya masalah sepele. Bukan soal kopi yang yak berkhasiat menahan kantuk, tetapi lebih pada cara anda menikmati kopi itu.”
“Maksud dokter?”
“Maksud saya; ketika anda merasakan kantuk bikinlah kopi kental yang panas, terus jangan langsung diminum kopinya, tapi gunakan untuk mencuci muka anda dulu, baru diminum. Pasti dijamin anda tidak ngantuk lagi.”
“Yaiya lah dok, gak ngantuk tapi mlocoti. Dasar dokter sialan.”

Tiko, jan.09

wah..., do NARSIS alias NARSO!!!!

ngapain kalian pada narso???
memalukan!
kemaluan!
keterlaluan!!!!

tiko, jan 2009

NUNUNG RIANTO. teman tiko

Nama : Nunung Rianto
Tmpt/Tgl lhr : Bantul, 26 Juli 1982
Alamat : Kalipakis / DK 1 Kalipakis
RT/RW : 04 /01 Desa Tirtonirmolo
Kecamatan : Kasihan
Kabupaten : Bantul (55181)
Agama : Islam
Jenis kelamin : Laki-laki
Kewarganegaraan : WNI
No Hp : 085643045306

PENDIDIKAN :
Tahun 1995 : Lulus SD Muhamadiyah, Ambarbinangun, Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul, DIY.
Tahun 1998 : Lulus SMP Mataram GUPPI, Ambarbinangun, Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul, DIY.
Tahun 2001 : Lulus SMK N 3 Kasihan (SMSR Yogyakarta), Kasihan, Bantul, DIY.
Tahun 2001 : Di terima menjadi Mahasiswa FSR ISI Yogyakarta, Jurusan Seni Murni, Minat Utama Seni Lukis

AKTIFITAS BERKESENIAN :
2001 Pameran TA di Mardawa Mandal Yogyakarta (SMSR)
2002 Pameran Sketsa, di Lorong Jurusan Seni Murni ISI Yogyakarta.
Pameran Lukis Cat Air, di Lorong Jurusan Seni Murni ISI Yogyakarta.
2003 Pameran Puser ’01, di Gallery ISI Yogyakarta.
Pameran Lampu Andong, di Benteng Vredenbrugh Yogyakarta.
2004 Pameran Puser ’01, I’m a Terrorist, di Benteng Vredenbrugh Yogyakarta.
Pemeran Seni Kebangkitan # 6, di Gedung Bale Mangu Kepatihan Danurejan.
Pameran Kompetisi Seni Lukis Pratisara Affandi Adikarya di Gallery ISI Yogyakarta.
WorkShop Lukis Topeng Anak-anak SD UNS Solo
2007 Pameran HARLAH ASRI ke-57, di Benteng Vredenbrugh Yogyakarta. Pameran Kompetisi Seni Lukis Pratisara Affandi Adikarya, di Gallery ISI Yogyakarta.
2008 Pameran Celebrating the Differences, di Elegan Art Space Jakarta

Sepiring Berdua




















Nunung Rianto, Sepiring Berdua (Ketidakseimbangan), 2008
120 cm x 150 cm, Akrilik di Atas Kanvas

Gambaran tentang perkembangan pembangunan dimana semakin hari demi hari terus berkembang dan terus berkembang dengan pesatnya menggeser area penghijauan, sehingga mengakibatkan ketidakseimbangan antara pembangunan dan penghijauan dikarenakan lahan penghijauan semakin hari semakin berkurang.

Buaian Cengkraman dan Harapan











Akrilik diatas kanvas
90 X 90 cm
2007

Keadaan yang penuh dengan kepalsuan menyelimuti
hampir semua ruang luar-dalam manusia.
Hati nurani yang kali ini disimbolkan sebagai anak kecil
seolah dinina-bobokan oleh hal-hal yang sudah dianggap wajar.
Terkadang kesadaran memakai hati kecil sebagai rujukan pertimbangan terakhir
tak berfungsi dengan semestinya, dikarenakan telah pulas tertidur.
Tetapi anehnya seolah hatinya hati kecil selalu berdoa untuk selalu tersadar.

Pecah Terbelah

















Nunung Rianto, Pecah Terbelah, 2008
120 cm x 150 cm, Akrilik di Atas Kanvas

Mengungkapkan kalau bumi ini seperti roti yang bisa dipotong-potong sesuai keinginannya.
Visualisasi diatas sebagai gambaran telah terpotong-potongnya lahan sesuai dengan porsi masing-masing.
Piring pecah sebagai gambaran pondasi yang pecah akibat kurang dari ketidakseimbangan .

Tarian Hujan Dimusim Kemarau


Akrilik diatas kanvas
150 X 70 cm
2007

Terkadang kurang teliti, kurang waspada,
kurang rangkap ilmu yang dipakai dalam melihat suatu hal atau fenomena
membuat membuat manusia cepat puas atau kebalikannya mudah menyerah.
Perihal tersebut akan mudah dimanfaatkan bagi orang-orang pandai
dan memiliki ilmu yang lebih.
Dalam lukisan kali ini keinginan seseorang yang begtu kuat
akan hujan sebagai metafora pelepas dahaga atau penyejuk rohani,
membuat manusia semakin sulit membedakan antara air kencing dengan air hujan.

Rombongan

Di dalam pameran bersama itu, dia pameran sendiri.
Mereka berpameran sendiri-sendiri.
Walaupun ditulis dengan kata kebersamaan, berselimut kehangatan, ditali persaudaraan, mereka, karya mereka belum saling kenal.
Tak terdengar sapa pun mesra.

Yang satu bilang ini, yang situ bilang itu. Yang sono bicara sendiri,
saling omong. Cuma dengan diri sendiri, maupun dengan orang yang kira-kira mau mendengarkan. Padahal dari tadi belum ada orang yang benar-benar mendengarkan.

Riuhnya mirip pasar. Suara gemuruh orang-orang bila kau dengar dari kesunyian.
Orang yang butuh sayur mendatangi penjual sayur. Terjadi transaksi, lahir dan batin. Orang yang butuh pakaian mencari penjual pakaian. Terjadi transaksi, lahir dan batin.

Seminggu, sebulan kemudian pasar pindah datang segerombolan pedagang-pedagang baru. Dengan metode sama.
Yang bajunya telah usang, mencari baju baru. Sayur yang kemarin telah jadi kotoran. Lapar, cari makan lagi di pasar.

Suatu hari terjadi keguncangan.
Penjual semakin lapar.
Pembeli tak ada uang.
Mulailah kejahatan tumbuh menjalar lebat dalam pasar.
Nafas mereka mulai sesak.
Saling tuding, saling tuduh, saling marah.
Mereka tak tahu harus berbuat apalagi.
Tiba-tiba seorang gila lewat. Aku tak tahan sendiri, aku tak tahan sendiri, masih dengan suara jeleknya ia nerocos sambil berjalan.
Walaupun kita sering ngobrol, ngopi, makan, bahkan tidur bareng, mandi bareng, mancing bareng, olah raga, olah rasa, tapi kenapa rasanya aku masih sendiri.
Kamu pun sendiri.
Apa kamu mau ikuti jejak si gila ini. Tiap hari bicara sendiri.
Aku minta putus dari kamu.
Dan aku memutuskanmu,
Jika keinginanmu adalah jalan sendiri-sendiri.

Penghuni pasar saling berpandangan, merekapun saling berbisik; ah Cuma orang gila, merekapun kembali dalam percakapan yang sama.
Bantah membantah.

Tiko, Des. 2008