KOREKSI KASIH SAYANG IBU DAN ANAK

Secara gak sengaja ku temukan sebuah peribahasa yang berbunyi: Kasih Ibu sepanjang jalan, Kasih anak sepanjang penggalan; yang artinya disitu ditulis: kasih sayang ibu tiada terbatas, tetapi kasih sayang anak terbatas tak tetap, kadang-kadang ada dan kadang-kadang pula tidak ada. Dahiku menjadi berkerut setelah membaca kalimat itu; benarkah kita sebagai anak menerima peribahasa ini dengan serta merta dan menelannya tanpa mau mengunyahnya terlebih dahulu?
Lalu bagaimana pepatah itu sampai tercatat dalam khasanah peribahasa Indonesia. Siapakah orang yang pertama kali mengatakannya, dan dengan inspirasi serta argumen apa sehingga pepatah itu sampai terlontar dan ditulis oleh para pencatat?
Apa karena kita mempunyai lembaran-lembaran catatan dari masa lalu seperti kisah malin kundang, si umang, dan mungkin cerita-cerita lain dari daerah kalian, sehingga pepatah itu menjadi sah kelahirannya; ataukah melaui penelitian dan pengamatan yang cukup lama sehingga menangkap gejala yang kuat terhadap indikasi polah tingkah anak-anak saat itu yang memang kurang serius dalam membalas dan memberi timbal-balik atas kasih sayang dari ibunda-nya; Jika indikasi kedua itu benar adanya berarti tidak ada yang salah dalam peribahasa tersebut karena mengungkapakan sebuah kenyataan. Lalu pertanyaan berikutnya sejak kapan peribahasa itu muncul? Dan apa imbasnya? Bukankah dalam siklus yang normal seorang anak perempuan juga akan menjadi ibu, lalu akankah menjadi semacam mata rantai hutang anak kepada ibunya yang sangat panjang, Kemudian disusul oleh pertanyaan; apakah kita sebagai anak merasa bangga karena telah mewarisi dan akan meninggalkan warisan selarik peribahasa seperti itu? Dan akhirnya sebagian teman yang lain menggunakan peribahasa itu untuk menjadi pemakluman atas tingkah lakunya kepada ibunya, atau jangan-jangan pepatah itu ditujukan lebih spesifik kepada laki-laki? Kemudian untuk bapak-bapak-pun ikutan protes karena cemburu tidak di sebut serta dalam peribahasa tersebut? Belum lagi pertanyaan yang nanti keluar dari seorang ibu, yang yang pernah menceritakan kisah hidupnya ketika ibunya meninggal saat usianya belum genap tujuh tahun, ia tak ingat dan tak ada rekaman pribadi kecuali transformasi kasih sayang ibu yang dititipkan melalui kakak-kakaknya yang berjumlah tujuh dan ia menjadi lebih beruntung lagi karena masih ada catatan silsilah keluarga ibu yang jelas, yang membantu sedikit banyak mengenali siapa ibunya sebenarnya.
Beberapa hari yang lalu, aku mendengar dan melihat kabar berita lewat televisi tentang seorang ibu yang tega menjual anaknya seharga satu setengah juta rupiah. Uang hasil penjualan bayi itu digunakan mengganti hand phone milik tetangganya yang ketahuan telah ia curi sebab hp tadi teranjur dijualnya ke sebuah counter. Beberapa minggu sebelumya adekku “keceplosan” cerita tentang kawan kos-nya yang nekad melakukan aborsi terhadap janin dalam kandungannya karena ia belum menikah dan masih tercatat aktif kuliah di semester 5. Dan dalam beberapa hari ini semakin terkuak koreng kita lewat maraknya berita penjualan anak, aborsi, ibu yang tega meninggalkan anaknya yang baru dilahirkan di kebun, pos ronda maupun di tempat sampah. Kenyataan itu sungguh seharusnya membuat miris bagi siapa saja yang bersedia membuka mata dan telinganya. Lalu siapa yang bertanggung jawab atas itu semua? Kita tidak bisa serta merta menyalahkan ibu itu, kita harus lebih arif melihat persoalan ini. Karena latar belakang perempuan ketika melakukan aborsi bisa berbeda-beda dan penanganannya pasti juga berbeda. Dan catatan kecil ini memang tidak ditujukan untuk lebih jauh mengupas itu. Mungkin kawan2 yang akan gantian mengerutkan dahi, karena masalah aborsi, penjualan anak ini lebih serius dan esensial di banding ngomongin sebaris peribahasa yang cenderung provokablur. Yah siapa tau dari temen-temen ada yang mulai berbagi bunga pikiran, pengetahuan, serta ilmu tentang hal itu nantinya.

Sedikit mengengok kebelakang
Melihat kenyataan di depan mata seperti itu, bukankah peribahasa tadi harus dirombak, di revisi jika azas yang digunkan dalam memunculkan sebuah peribahasa adalah potret kenyataan. Dan jika kita jujur kira-kira bisa seperti ini bunyinya: Kasih Ibu semakin terpenggal, lha dititipi anak malah di buang;
atau Kasih ibu telah hilang di jalan, Kasih Ibu terjengkang-jengkang, dst. tetapi bukankah peribahasa itu nantinya akan menjadikan semakin runyam dan tidak terjadi penyelesaian yang indah?
Bagi Bapak bolehlah GeeR untuk dapat belajar mencintai, mengasihi dengan luar biasa besar kepada anak-anaknya, berkacalah kepada Ayyub AS. sehingga kwalitas dan keyakinan cintanya kepada anak-anaknya terlebih kepada Yusuf AS. mampu menyembuhkan kebutaan, sakit dan uzur karena usia, padahal baru mencium bau keringat anaknya lewat sebuah baju yang diselipkan dalam bungkusan.
Untuk para Ibu tak perlu dibahas, karena sudah jelas para ibu-lah yang memperoleh hak istimewa itu karena titipan rahim ada dalam perutnya. Ketika dalam wujud pertemuan air mani dan sel telur, gumpalan daging, dan seterusnya hingga waktu yang ditentukan untuk lahir, dalam prose situ jabang bayi selalu merekam kondisi pikiran, perasaan, makanan dari ibu yang mengandungnya, mungkin karena itu naluri ibu lebih cakap dan peka dalam mengasuh dan melindungi dan anaknya.
Sebetulnya ada referensi menarik sebuah kaca benggala dari kisah Maryam ibu nabi Isa AS. bagaimana ia rela menjauh dari keramaian masyarakat demi memutuskan tetap amannya sebuah kelahiran anak yang tidak mempunyai ayah. Ada juga ibunda nabi Musa AS. yang memutuskan menghanyutkan anaknya di sungai demi menghindari kebengisan Fir’aun yang melakukan pembantaian besar-besaran terhadap anak laki-laki karena menerima bisikan dari dukunnya kalau telah lahir bayi yang akan menjatuhkan kedudukannya kelak. Tetapi karena ke Maha Besaran Tuhan, Musa kecil diskenario hingga ditemukan istri Fir’aun dan dibesarkan melalui istana, sampai mengerti siapa sebenarnya dirinya. Berkaca dari peristiwa itu, sungguh ironis jika dibandingkan dengan jaman sekarang. Dahulu seorang ibu, rela “membuang” anaknya dengan harapan sang anak dapat selamat, sekarang ratusan mungkin ribuan dan mungkin juga tak terhitung lagi kejadian seorang ibu membuang, bahkan membunuh bayi dan anaknya demi alasan kehidupan ibunya sendiri. Bahkan menggunakan dalih kesulitan ekonomi.
Hah, beralasan dengan dalih ekononi, geleng-geleng-geleng… membaca kenyataan itu, jangan naik pitam dong, terus mengatakan: Hai pemerintah apa kabar? Dari sisi pemenuhan kebutuhan ekonomi bagi rakyat, sepertinya engkau lebih kejam dari Fir’aun. Sehingga mereka sampai hati memenggal sendiri leher anak mereka, sebelum engkau perintahkan. Hai pemerintah, bukankah di sini gudang segala kekayaan? Ah, sudahlah, Kasihani mereka, nanganin satu-dua orang yang terlibat kasus century aja blibetnya bukan maen, padahal sudah di demo dari ribuan saudara kita di sana-sini, masa terus kita paksa todong ngurusi ribuan orang kelaparan di negri ini… ah mimpi kali yee…

Version of Indonesianian
Tapi mungkin benar juga, jika kasih sayang ibu-ibu kita begitu besarnya. Ini kan Indonesia, negeri yang penuh kasih sayang dan cinta antar anggota keluarga. Nilai-nilai kekeluargaan masih dijunjung begitu tingginya. sehingga sampai-sampai aku temui ibu-ibu bekerja di terik matahari sebagai buruh kasar dalam proyek pembuatan perumnas. Jam dua dini hari adalah jadwal ibu-ibu yang sudah sangat berumur, mengayuh sepedanya dari desa yang pelosok- waktu sebagian besar orang tenggelam dalam hangatnya kasur empuk, mereka turun gunung menuju pasar kota dengan membawa sedikit hasil kebun dan sayur yang dipetiknya dari pekarangan rumah dan petakan sawah kecil miliknya. Dan ketika selepas isyak masih akan kau temukan sesekali seorang dua orang ibu yang masih setia mangkal atau dijalanan kota jogja mencari seseorang yang membutuhkan jasa antar-jemput mengunakan ojek atau motor taxi-nya, bahkan kalau kamu suka menyusuri lorong-lorong di sonoh, masih ada juga ibu-ibu yang terpaksa bergadang sampe subuh menjajakan tubuhnya untuk “di ojek” demi menghidupi kebutuhan keluarganya. Bisa di bayangkan betapa kuatnya mereka, belum setelah itu menyelesaikan pekerjaan dirumah masing-masing. Dan bisa dibayangkan betapa kesalnya kita, kalau tahu, anak-anak mereka tidak serius dalam memaknai perjuangan orang tuanya. Bahkan rasanya pengen njitak anak-anak itu kalo tahunya mereka hanya merengek dan minta dituruti segala mau-nya.
Ini Indonesia dek, mari kita tengok lagi lebih jauh, masih adakah di lingkungan RT kita, seseorang yang sudah berkeluarga, sudah punya anak, tetapi hidupnya masih ditopang sama orang tuanya, syukur orang tuanya masih mampu, dan masih ada juga orang tua yang enggan menyapih anaknya walaupun sudah seperti itu.
Pernah aku iseng-iseng bertanya kepada orang tua yang seperti itu, jawabannya ada saja, ada yang bilang kasihan, masih jadi kewajiban, orang tua enggan jauh dengan anak, orang tua kerja kalau bukan untuk anak untuk siapa lagi, dll. begitulah yang sering kujumpai. Wajar saja terlahir peribahasa ;Kasih Ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang penggalan- di Indonesia; lha kultur dan psikologi masyarakat seperti itu.
Peribahasa tadi jika hanya dimaknai sebagai potret dari kultur dan psikologi masyarakat sepertinya kurang tepat dan menjadi bias maknanya. Di jawa khususnya diajarkan banyak sekali tata krama, atau lebih dikenal sebagai unggah-ungguh. Orang yang lebih tua harus lebih dihormati, sehingga lahirlah khasanah bahasa yang bertingkat. Ada Ngoko, Kromo Madyo, Kromo Inggil dengan spesifikasi penggunaan sendiri-sendiri. Merendahkan diri dihadapan orang lain itu biasa, apa lagi dihadapan orang tua. Orang jawa bilang; iso kuwalat nek wani-wani karo wong tuwo. Dan seringkali ilmu merunduk, membungkuk itu digunakan untuk memudahkan mengambil keris, senjata orang jawa yang disimpan di pinggang belakang. Sehingga ketika anak ingin meminta sesuatu cukup dengan ngisik-isik sikil orang tuanya, sehingga terkabullah apa yang menjadi niat dan keinginannya.
Atau sebaliknya, pribahasa tersebut bisa menjadi bumerang bagi mereka yang GeeR apalagi sampai menyebar kedalam ranah kehidupan sosial yang lain seperti pemahaman orang lebih tua selalu lebih unggul dibanding yang lebih muda umurnya, orang tua selalu benar, Pemerintah sebagai ibu selalu melakukan keputusan terbaik dan salah rakyat sebagai anaklah yang selalu tak puas dan tak tahu terimakasih. Dosen selalu benar dan mahasiswa tempatnya keliru, penceramah lebih mulia dari orang yang di ceramahi, dst.

Hak cinta anak dan orang tua?
Setelah berbicara sedikit panjang lebar, untuk menghindari semakin bias makna antara orang tua dengan anak; dalam mengolah peribahasa bolehlah sedikit kita utak-atik, supaya lebih luas, lebih fair dan semoga menjadi lebih adil dari sebaris peribahasa. “Kasih Ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang penggalan”, kemungkinan menggunakan jarak pandang yang begitu pendek, semangatnya di dunia saja atau sampai sebatas usia hidup di dunia. Mari kita coba melihatnya pakai khasanah dari Islam, yang menggunakan jarak pandang dunia dan akhirat; Rasullulloh pernah bersabda: Apabila seseorang telah meninggal dunia, maka terputuslah semua amalnya kecuali tiga macam, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang dapat diambil manfaatnya, atau anak sholeh yang mau mendoakannya.
Disana dikatakan anak sholeh yang mau mendoakan orang tua, walaupun mereka sudah meninggal dunia masih di hitung sebagai amal untuk orang tua. Bukankah itu sebuah kalimat arif bagi orang tua sekaligus bagi anak. Yaitu sebagai alasan bagi orang tua untuk selalu berusaha mendidik anaknya menjadi sholeh sehingga kelak menjadi infestasi setelah dirinya meninggal, kemudian bagi anak merupakan dalil untuk selalu dapat membalas kasih sayang kepada orang tuanya walaupun orang tuanya telah meninggal dunia. Jika kita kembali kepada peribahasa Kasih Ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang penggalan; bukankah lebih baik kita koreksi menjadi: Kasih ibu tak putus sepanjang jalan, Kasih anak tak habis sepanjang hayat. Yang artinya kasih sayang itu tak terputus oleh lintasan ruang - waktu, sehingga tak ada batasan bagi anak dalam berbakti kepada ibu karena kasih sayang ibu selalu melekat di hati. Dan tentu saja itu termasuk persembahan cinta bagi saudara kita yang menjadi yatim sejak kecil.

Samitalona, Jagan, 22-02-2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar