BELIAU MENJENGUK

Suatu malam yang sunyi dan tenang aku terjaga. Kudengar sayup-sayup bacaan al-Quran dari kamar kakakku. Alhamdulillah, ucap syukurku dalam hati. Tak biasanya dan sudah sangat lama aku tidak mendengar dia membaca kitab suci. Setahuku selama ini kitab sucinya telah berganti; yang pertama adalah tabloid Bola, yang kedua majalah OtoSport, dan yang terakhir adalah Katalog Pameran Seni Rupa. Bagaimana tidak setiap selasa dan jumat ia membeli tabloid tersebut, setiap sebulan sekali beli majalah Oto dan setiap hari kerjanya bolak-balik lembar katalog yang semakin hari terus bertambah setiap kali ada acara pembukaan pameran. Aku sebenarnya sangat sayang kepadanya, dan menurutku pola hidupnya semakin hari semakin tidak sehat. Makan-nya tidak teratur, setiap malam bergadang, kopi dan rokok tak ada indikasi untuk dikurangi. Walaupun sering kutegur, tetapi selalu saja ada alasan yang dikatakannya.
Kutengok jam didinding kamar, pukul 01:12. Karena kepalaku agak pusing, akupun melanjutkan tidur lagi. Siapa tahu mimpi indah yang tadi, boleh kusambung kembali… Keesokan harinya aku masuk kekamar kakakku. Ia sedang asyik dengan kuas dan catnya. Melukis adalah panggilan hati, kata-katanya yang selalu kuingat. Padahal menurutku melukis adalah buang-buang waktu, pemborosan cat dan tenaga, untuk suatu hal yang belum tentu ada untung-manfaatnya. Pendapat yang sangat subyektif ini, merupakan implementasi dari kehidupan kakakku sendiri atas perjalanan kehidupannya yang sesekali kubaca dan kucatat. Memang sih banyak juga dari teman-temannya yang “berhasil” dalam karier melukis. Tentu saja berhasil dalam pandangan masyarakat umum sekarang. Setidaknya indikasinya adalah kebutuhan ekonomi yang tercukupi, dan setidaknya punya tabungan masa depan, karena profesi ini saya lihat cukup beresiko. Haha.. namun debat dan tukar pikiran dengannya selama ini belum memuaskanku, selain meluasnya pandanagnku dan pengenalanku kepada siapa jati diri kakakku yang sebenarnya sebagai salah satu lulusan kampus seni terpandang di Yogyakarta. Andalannya adalah lukisan itu termasuk infestasi,… iya, infestasi untuk makanan rayap dan tikus sanggahku.
Akupun mulai ingat apa tujuanku hari ini, oh ya, mencari tahu ada angin apa semalam, kok putrid dengar kakak membaca atau lebih tepatnya nderes kitab suci semalam, tanyaku ketika membuka obrolan.
“Ah, kata siapa kakak nderes kitab suci semalam?” Jawabnya.
“Alah, ngaku aja kak, sudah tobat yah?? Atau lagi putus cinta, atau jangan-jangan mau melet cewe?”. Desakku mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi, dan disembunyikan dariku.
“Melet cewe, tuh buat si Azza, biar lengket sama kakak.” Katanya.
“Ia kan cantik, pinter ngaji, anak tunggal, bapak ibunya haji, kaya dan baik hati.” Selanya lagi.
“ Ah, gak mungkin percaya. Azza kan cuma dewi khayalannya kakak, lah ngelantur lagi dech…” jawabku sambil nyengir. Sebuah jawaban yang tak pernah serius dalam menerima pertanyaanku.
Kakakku yang satu ini emang susah ditebak apa maunya. Banyak main rahasia-rahasiaan padahal sama adiknya sendiri. Tapi itu tak jadi masalah, karena suatu saat pasti ia menerangkan atau memberi tahu apa yang sedang dalam pikirannya. Atau pilihan tindakannya dimasa lampau. Dan aku terkadang juga tidak ingin mengerti terlalu jauh apa yang memang sedang disembunyikannya. Rencana jangka pendek maupun jangka panjang kehidupannya adalah sebuah jalan bukannya tujuan. Aku menyimpan doa disana, bersama setiap anggota keluarga kami.
Kulihat kitab suci al-Qur’an di atas rak bukunya. Terlihat usang, sudah tak bersampul kover tebal yang biasanya menjadi satu bagian dengan kitab suci. Di pangkal dan ujung tiap lembarnya terlihat tidak sejajar atau tidak rata lagi, melainkan sudah banyak yang menggulung ke atas, bahkan beberapa halaman awal, terlihat robek di sepertiga atasnya. Menunjukkan sudah cukup berumur atau setidaknya sering dibuka oleh pemiliknya.
Melihat pemandangan artistik dari kitab suci dikamar kakakku, hatiku agak trenyuh. Dalam pikirku, kenapa aku tidak membelikan al-Qur’an baru untuknya. Maka dalam hati aku ingin menghadiahkan kepadanya disaat lebaran nanti atau saat nuzulul Qur’an dimana sebagai pengingat turunnya wahyu al-qur’an.
Dia tiba-tiba berkata “Tidak usah kamu belikan yang baru, kitab itu punya kenangan tersendiri buat kakak. Kamu ingat Pak Jun? beliau orang pertama yang mengajari kita membaca alqur’an dengan tajwid dan kaidahnya”.
Aku mengangguk. Beliau adalah guru dengan spesifikasi bacaan al-qur’an dikampungku, yang sudah wafat kurang lebih tiga tahun yang lalu. Di hadapan beliau, Kakak ketika mengaji seringkali menggunakan al-quran tersebut.
Kakakku melanjutkan perkataannya “Tadi malam seakan-akan beliau hadir di sini, menjumpai kakak yang semakin tak berarti.”
“semalam aroma minyak wangi yang sering beliau pakai tercium begitu kuat di benak kakak.”
“ Mungkin saja bekasnya masih meresap menyatu di al-qur’an ini, karena kakak selalu mencium tangan beliau seusai mengaji. Dan ketika berjalan pulang ke rumah, aroma minyak yang turut melekat di tangan bersama keringat ruhani menyatu dengan kitab suci yang tergengam erat di dada.”
Mendengar penjelasan itu, aku teringat betul masa-masa sebelum pergi melanjutkan belajar di Jogjakarta, dimana aku meminta restu kepada beliau. Dengan dipimpin beliau, kami bersama kawan-kawan dengan semangat membaca tahlil dan Sholawat kepada nabi Muhammad. Saat itu suasana malam terasa terang benderang penuh keasyikan walaupun kampung kami sangat jauh dari gemerlapnya kota.
Setelah itu aku pun mencium aroma minyak yang tak asing dalam benak ingatanku, Kami pun tertunduk diam, menghadiahkan bacaan sirr ummul kitab kepada beliau yang begitu menyayangi dan kami hormati.

Samitalona, 6 Agustus 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar