RAHASIA DAPUR DAN MASAKAN IBU

Ibu adalah sahabatku yang baik. Ia tidak pernah menyuruhku untuk menemaninya di dapur. Yang diharapkan olehnya dariku yaitu; untuk selalu semangat belajar, sehingga menjadi anak yang pandai; dan aku menuruti saja perkataan ibu tanpa banyak bertanya apalagi membantah. Yang ku tahu, anak yang baik adalah anak yang patuh dan menuruti perkataan ibu. Dan aku berusaha membuktikan menjadi anak yang baik di mata ibu.
Semakin bertambahnya umur, aku pun ingin seperti ibu; khususnya dalam urusan dapur. Berawal dari pertanyaan sederhana; Mengapa ibu selalu bisa membuat masakan yang enak?; dan kenapa ibu bisa membagi waktunya dengan baik antara bekerja dan mengurusi rumah tangga; apalagi setelah ayahku sakit dan harus pensiun dari tempatnya bekerjanya, otomatis tulang punggung keluarga berada dalam gendongan ibu sendiri. Sedangkan aku dan adik-adikku masih sekolah semua. Namun, beban yang berat itu mampu disimpan rapat-rapat oleh ibu. Dimana ia menyimpan perasaan itu?, sedangkan sinar mata yang teduh selalu menghiasi hari demi hari dan tanpa sekalipun menunjukkan rasa lelah. Banyak pertanyaan yang bermunculan di kepalaku, dan semakin hari semakin banyak…
Semakin aku kagum, akupun secara diam-diam mengamati aktifitas ibu ketika dirumah, seusai beliau pulang dari tempat kerjanya. Aktifitas ketika di dalam, di halaman, dan di sekitar rumah. Apa yang dikerjakannya menjadi perhatianku. Dan aku pun mulai membantu sedikit demi sedikit, walaupun ibu tak pernah memintaku untuk membantu pekerjaannya. Hingga sampai ada sesuatu yang lain ketika beliau berada di dapur. Ya, di dapur adalah tempat ia betah berlama-lama, selain di ruangan tempat khusus untuk sholat.
Setelah kupikir-pikir, betul juga; dari dapurlah aku, adik-adikku, dan orang tuaku biasa berkumpul ketika waktu makan tiba. Sambil membicarakan apa saja dalam suasa santai, atau dengan nonton teve. Aktifitas berkumpul dalam suasana santai inilah, yang menjadi pintu terbuka segala keluh kesahku, atau cerita kejadian lucu di sekolah adekku. Semua bisa di bicarakan; sehingga kami pun merasa lega, dan saling mengenal satu sama lain secara alamiah. Masakan ibu dan dapur itulah kuncinya.
Naluri belajar hal yang berhubungan dengan dapur pun semakin kuat. Ya, aku harus bisa memasak seperti ibu. Mula-mula aku Cuma menemaninya; melihat apa yang dikerjakan ibu. Kemudian memegang pisau, menyiapkan bumbu, mempelajari takarannya, dan seterusnya. Sedikit demi sedikit aku mengerti dan mampu menyuguhkan masakan yang mirip-mirip bila di bandingkan dengan masakan ibu; dari model, fariasi dan rasa masakan, sehingga tidak terasa membosankan. Bahkan kemampuan ini aku rasa semakin berkembang ketika aku belajar di jogja.
Cita-cita dari semua masakan adalah pencapaian kenikmatan rasa. Entah masakan dimodel seperti apa, dimodifikasi hingga menjadi apa, sehingga mata dan hidung tersandra untuk mencicipi; pada akhirnya rasalah yang menjadi jurinya. Memang sih, takaran rasa berbeda-beda dan selera tidak bisa diperdebatkan.
Yang menjadi alasan aku menulis catatan ini adalah: mengapa rasa masakanku di hari itu tidak sesuai dengan yang kuharapkan. Seolah pengalaman, pertimbangan rasional, dan naluri yang pernah kupelajari dari ibu menjadi hilang. Ini yang salah cara memasakku atau ada yang salah di lidahku? Atau ada faktor lain; apakah faktor itu ibu..?
Apakah ibu juga pernah mengalami yang seperti ini? Jika pernah bagaimana itu bisa terjadi, dan bagaimana cara mengatasinya?
Ibu masih banyakkah pelajaran yang belum kau sampaikan kepadaku?
Atau pelajaran yang belum mampu ku pahami darimu?
Ibu, aku ingin seperti ibu, cukup dengan masakan, mampu membuat kami semua berkumpul, tersenyum, bercerita dengan aman kepadamu. Dan tentu saja mampu menyuguhkan makanan lezat untuk kekasihku itu.

Samitalona 27.01.10

Tidak ada komentar:

Posting Komentar