Hitam Putih Untuk Penggembala Tengik

Oleh : Tiko

Didik Wibowo marah-marah besar. Kopinya yang masih separoh di join ama cicak. Rencananya nglembur sanpai pagi terganggu oleh nekatnya sahabat kita yang satu itu. Untuk mengurangi emosinya ia pun terpaksa, maaf, mantek aji sebentar untuk berkomunikasi dengan cicak tersebut. Karena ia mengetahui marah tanpa mengerti sebabnya marah adalah kebodohan dan menyakiti sesama mahluk termasuk dosa walaupun itu adalah seekor cicak. Maka terjadilah komunikasi.

“ Hai, Cicak-cicak di dinding, engkau sungguh mulia.
Setiap hari engkau membantu menjagaku dengan melahapi nyamuk-nyamuk yang sering menggigit dan mengganggu di malam lemburku dan saat bobok ku.
Kiranya ada apa gerangan kali ini engkau yang merusuhi diriku dengan meminum kopiku dari gelas yang satu. Maka karena kebodohanku yang tak mampu menerima kejadian ini, berikanlah alasan yang memuaskan untuk meradakan rasa kesalku ini, kenapa engkau nekad mencicipi kopiku? ”

“ Ha.ha.ha.ha… cicak tertawa terbahak, kamu jangan cepat emosi, jangan cepat marah, ntar jadi cepat tua baru tau rasa. Lengkungkan dulu bibirmu dan berikan tatapan mata persahabatan padaku!.”

“ Iya, iya.. Didik terus mendesak, tapi mengapa engkau meminum kopiku. Kalau kamu haus bukankah banyak air disana, di bak kamar mandi atau dimana saja. Bukankah kamu bebas dari bermacam penyakit perut. Silahkan minum apa saja, tapi jangan kopiku!.”

“ Kamu jangan sok tahu sahut cicak. Bukankah kamu sadar aku selalu temani malam mu? Membantu mengurangi nyamuk dirumahmu karena mereka adalah makananku. Dan apakah aku selalu meminum kopimu? Apakah kau pernah menawari aku? Kau pikir aku mencuri kopimu? Sebenarnya dari tadi aku sudah meminta baik-baik kepadamu, Cuma engkau yang terlalu serius di hadapan karya senimu itu yang mengurangi kepekaan pendengaranmu. Sebenarnya begini, malam ini aku ngantuk berat. Badanku terasa capek.
Aku takut jika berjalan di dinding dan eternit nanti terpeleset dan jatuh, kan bisa jadi berabe. Aku ingat kemarin engkau berbicara dengan temanmu soal khasiat kopi, yang salah satunya adalah mencegah kantuk. Oleh karena itu aku ingin membuktikan sendiri kebenarannya.”

“ Ya udah jika benar itu alasanmu, aku menerimanya.
Padahal tahu gak, dari dulu nenek moyangmu juga memakai alasan yang sama untuk membenarkan perbuatannya.”

“ Maksudmu?” Tanya si cicak.

“ Apa kamu tidak pernah mencari tahu kenapa tahimu berwarna hitam dan putih. Hitamnya banyak dan putihnya setitik.” Cicak semakin tak ngerti.
“ Gini ceritanya; cicak nenek moyangmu dulu adalah sahabat nenek moyangku. Karena cicak binatang yang baik, ia mendapatkan anugrah untuk bisa melawan gravitasi. Ia bisa merayap di dinding dan eternit seperti kemampuan yang kamu miliki sekarang. Sampai-sampai tahinya pun berwarna putih. Sampai suatu hari moyangku membuat kopi nikmat di sebuah malam. Cicak moyangmu tergoda untuk mencicipinya karena mencium aroma wangi kopi tersebut. Iapun mengendap merayap dan meminum hampir separoh kopinya.”

“ Wuih.., yang bener ” sahut cicak.

“ Kemudian kakek moyangku mengintrogasinya, dan ternyata cicak tak mengakui perbuatannya. Padahal moyangku dengan mata kepala melihat kalau si cicak yang meminum kopinya. Karena itu ia pun mengucapkan semacam doa; jika cicak bohong maka tunjukkanlah semacam pertanda yang jelas kepadaku. Maka tak lama kemudian perut cicak terasa sakit dan tak tahan untuk berak. Alangkah mengejutkan bagi cicak, ternyata tahinya berubah warnanya menjadi hitam dengan sedikit putih. Ia pun dengan segera menyadari kekhilafannya. Syahdan hingga sampai saat ini keturunan cicak mewarisi warna hitam putih di tahinya dan keinginan mencicipi kopi milik manusia. ”

Cicak tadi pun tersenyum-senyum …
“ Maaf dech - maaf dech,” sambil nyelonong pergi merayap ke dinding kamar dan berhenti diatas sebuah lukisan.

“ Kamu ingin tahu pendapatku tentang lukisanmu” tanpa menunggu jawaban
“ Ini pendapatku ” sambil mleding berak menetes menjatuhi tepat di atas hidung figur manusia dalam lukisan “Bebek jagoan dan Penggembala tengik” miliknya.

Didik dan cicak tertawa terbahak-bahak bersama.

tiko, jan. 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar