Rombongan

Di dalam pameran bersama itu, dia pameran sendiri.
Mereka berpameran sendiri-sendiri.
Walaupun ditulis dengan kata kebersamaan, berselimut kehangatan, ditali persaudaraan, mereka, karya mereka belum saling kenal.
Tak terdengar sapa pun mesra.

Yang satu bilang ini, yang situ bilang itu. Yang sono bicara sendiri,
saling omong. Cuma dengan diri sendiri, maupun dengan orang yang kira-kira mau mendengarkan. Padahal dari tadi belum ada orang yang benar-benar mendengarkan.

Riuhnya mirip pasar. Suara gemuruh orang-orang bila kau dengar dari kesunyian.
Orang yang butuh sayur mendatangi penjual sayur. Terjadi transaksi, lahir dan batin. Orang yang butuh pakaian mencari penjual pakaian. Terjadi transaksi, lahir dan batin.

Seminggu, sebulan kemudian pasar pindah datang segerombolan pedagang-pedagang baru. Dengan metode sama.
Yang bajunya telah usang, mencari baju baru. Sayur yang kemarin telah jadi kotoran. Lapar, cari makan lagi di pasar.

Suatu hari terjadi keguncangan.
Penjual semakin lapar.
Pembeli tak ada uang.
Mulailah kejahatan tumbuh menjalar lebat dalam pasar.
Nafas mereka mulai sesak.
Saling tuding, saling tuduh, saling marah.
Mereka tak tahu harus berbuat apalagi.
Tiba-tiba seorang gila lewat. Aku tak tahan sendiri, aku tak tahan sendiri, masih dengan suara jeleknya ia nerocos sambil berjalan.
Walaupun kita sering ngobrol, ngopi, makan, bahkan tidur bareng, mandi bareng, mancing bareng, olah raga, olah rasa, tapi kenapa rasanya aku masih sendiri.
Kamu pun sendiri.
Apa kamu mau ikuti jejak si gila ini. Tiap hari bicara sendiri.
Aku minta putus dari kamu.
Dan aku memutuskanmu,
Jika keinginanmu adalah jalan sendiri-sendiri.

Penghuni pasar saling berpandangan, merekapun saling berbisik; ah Cuma orang gila, merekapun kembali dalam percakapan yang sama.
Bantah membantah.

Tiko, Des. 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar