Nasehat untuk kodok

tiko, Nov.08

“Tuliskan yang indah-indah, yang nyaman saat di baca, yang menyenangkan hati kami. Kamu baru belajar nulis saja sudah marah-marah terus. Sebanarnya apa yang kamu mau?”
“Emangnya aku harus menulis sesuatu yang bagaimana lagi, sementara di kiri kananku, dari hari-kehari kulihat dan kutemui hanya hal-hal yang membuat marah, keputusasaan dimana-mana pemandangan ketidak adilan, dengki-dendam, bau busuk dan udara pengap bikin ku muak. Sementara yang disini cuma tahu berpesta pora, cuek dan tak peduli. Coba katakana kepadaku apa yang harus kuucapkan.”
“Cobalah fokus satu persatu atas masalah dan keluhan yang mampir ke pinggir kolammu. Perhatikan dengan teliti, bedakan yang masalah dan bukan masalah, yang keluhan atau kecengengan, yang harus sekarang atau untuk besok, yang harus dituntun digendong, atau dibuang di tempat sampah, atau yang cukup di elus dan dikasih senyuman. Tapi jika harus ditertawakan, tertawalah yang keras. Aku inging mendengar suara kodok tertawa.”
“Kau pikir aku sehebat itu? Aku ini kodok!. Jangan sangka aku pemerintah, aku bukan dukun, bukan juga seniman, bukan cendekiawan., atau apalah itu. Kau terlalu banyak omong, terlalu menuntut. Kamu manusia ya?. Dengarkan saja jika kamu suka, dimusim hujan ini, ngorek adalah siklus alamiah bagi kodok. Sudah, aku mau berenang dulu.terimakasih nasehatnya!.”
Sambil berenang ke tengah danau, kodok berkata dalam hati. Apakah yang barusan ngomong padaku tadi Nabi Sulaiman yah, kok tahu bahasa kodok. Atau manusia dijaman ini sudah pandai dan mengerti bahasa kodok. Ah tak peduli aku dengan itu semua. Sekarang adalah saatnya bagi kodok cari makan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar