SURAT LAMARAN RAHASIA

Ditulis oleh Tiko, Nov. 08

Untuk Yth. Panitia Pameran Bergengsi Banget
Salam Budaya.

Perkenalkan nama saya Darmo Estetiko S.Sn. umur 41 tahun. Studio saya di dusun Ngumbar Rt.061 Rw.83 Roboh Jiwo, Bantul, Yogyakata, Indonesia. Bukankah anda semua sudah mengenal saya. Tapi tak apalah saya lakukan ini, bukankah semakin kenal semakin sayang?
Surat ini merupakan bentuk perhatian saya terhadap perkembangan sosial ekonomi berkesenian kita bersama.
Merespon acara yang anda rencanakan, saya sangat setuju dan mendukung 100%.
Rencana untuk membikin acara pameran akbar dengan model kompetisi dan kuratorial yang memadai sangat ditunggu kita semua. Oleh karena itulah saya terpaksa merendahkan diri dalam sikap kekeluargaan.
Jangan kuatir untuk menyertakan saya dalam pameran bergengsi anda kali ini. Pengalaman berkesenian saya sangat banyak. Kalau di tulis semua cuma buang-buang halaman katalog anda. Dan saya juga risih kalau dirasani, digunjingkan di belakang. Apalagi kalau difitnah dengan di bilang sombonglah, pamerlah, itu tidak sesuai dengan kejawaan saya.
Untuk isen-isen di katalog nantinya, baiklah akan saya tuliskan beberapa selected exhibition dan selected award. Gambarannya seperti ini. Sejak TK nol kecil saya sudah menjuarai lomba-lomba lukis. Kelakuan nakal tersebut berlanjut di SD, SMP, SMA, bahkan sampai masuk di Perguruan Tinggi Seni kenamaan di negeri ini. Bayangkan sertifikat dan piala, tropi yang menumpuk dirumah, hinga tanpa paksaan dikasih kepada tetangga kiri kanan, saudara, atau bahkan kasih ke tukang loak tanpa harus membayar. Coba sebutkan biennale, trienale lokal maupun internasional mana yang belum perah menyediakan tempat untuk aku. Oleh karenanya maaf, amat rugi jika melewatkan nama saya didalam acara anda.
Begini, seorang kritikus dan pemilik gallery pernah mengatakan: jangan cuma melihat kualitas karya seseorang, tetapi pertimbangkan masak-masak pengalaman berkesenian dan ratusan penghargaan yang dimilki seseorang. Karena hal itu merupakan katrol yang gampang diterima masyarakat luas. Iya toh? Tepat itu. Tentusaja saya pro dengan pendapat tersebut. Terlihat banget berwawasan luas. Maksud saya, dia tidak sekedar melihat dari kaca mata seni, melainkan dari bermacam sudut pandang termasuk dari menejemen seni, sosiologi seni, politik seni, ekonomi seni, kewibawaan-derajad seni, dan sebagainya. Bukankah kita diam-diam mulai menyadari bahwa seni adalah sebagai alat. Dan jika anda sependapat dan setuju, artinya anda telah belajar dengan baik.

Tetapi sebelumnya saya minta maaf. Untuk pameran bergensi dan berkelas buah ide anda, belum tersiapkan karyanya. Namun jangan takut jangan kuatir. Pasti nantinya jadi lukisan yang keren abis dan di jamin 99% terjual. Kan menguntungkan bagi anda dan gallery. Anda harus percaya itu, karena koneksi saya banyak dan backingan kolektor saya kuat.
Mengenai potongan 30% dari harga jual lukisan bagi karya yang berhasil terjual, bukankah itu terlalu sedikit dan tidak sebanding dengan pikiran dan tenaga yang telah dikeluarkan anda sekalian. Saya tahu itu masih dibagi-bagi untuk seluruh staff yang bekerja di sana. Sebagai orang yang perasa saya akan merasa malu apabila tidak melebihkan angka prosentase tadi. Mungkin 40%, 50% atau kalau perlu bagian saya yang 30%?. Jangan berfikir yang macam-macam dulu, ini adalah wujud rasa sosial saya. Saya sangat paham permasalahan itu.

Saya rasa sudah cukup surat cinta ini. Nanti dikira banyak omong, dan mengurangi kewibawaan saya sebagai seniman. Apalagi dituduh memuntahkan amunisi.. ih jelek banget ya istilah itu. Beserta surat ini saya lampirkan nomor telepon dan e-mail yang dapat dihubungi. Sekian terimakasih.
Salam budaya.

Dua hari setelah surat tersebut dikirimkan kepada panitia pameran. Darmo mendapatkan balasan melalui telepon dari hand phone nya.
“Halo, selamat siang. Saya dari panitia pameran bergengsi banget. Apakah benar sedang berbicara dengan mas Darmo Estetiko?”
“Ya, selamat siang juga. Betul dengan saya sendiri, Darmo Estetiko.”
“Begini mas Darmo, surat yang anda kirimkan sudah sampai. Setelah kami pelajari dan rundingkan beserta segenap panitia, merupakan kehormatan bagi kami untuk menyertakan anda dalam pameran bergengsi kali ini. Dan kami akan sangat bangga dengan menyertakan nama anda.”
“ Oh ya, terimakasih. Saya juga menyukai itu.”
“ Sama-sama, dan kami selaku panitia menunggu karya bapak sudah sampai di tempat pengumpulan dua hari lagi. Untuk detail hasil perundingannya kami akan mengirimkan surat tertulis ke alamat mas Darmo.”
“Ok.., Ok... Saya paham itu. Dua hari lagi pasti akan saya kirimkan karya untuk pameran ini.”
Merekapun saling berterima kasih dan berbahagia dalam ikatan perjanjian yang aneh.

Dua hari sejak itu merupakan batas akhir dari pengumpulan karya. Banyak seniman seni rupa antusias dalam mengikuti acara bergengsi tersebut. Seniman dari generasi tua maupun generasi muda saling bersaing dalam keharmonisan. Mencoba menggali kedalaman ide, menemukan kecerdasan pandangannya, menyuguhkan keartistikan visual melalui tema yang di garis bawahi panitia.
Dua hari terakhir banyak banyak karya masuk ke ruang seleksi. Merupakan kebiasaan seniman apabila mengumpulkan karya, yaitu pada hari-hari terakhir dengan alasan yang beragam. Intinya terletak pada rasa nikmat yang takterperikan, jika karyanya adalah termasuk golongan karya yang menelusup pelan ke atas meja panitia pada detik-detik terakhir sebelum pintu ditutup. Apalagi jika nantinya berhasil lolos mengikuti pameran dan menyingkirkan saingannya yang berjumlah ratusan. Seakan berasa enjakulasi yang kedua. Wuih nikmat sekali.

Pada hari yang kedua itu pula Tiwito Gores, seorang pelukis muda dengan cita-cita tinggi. Mengantarkan karya yang telah disiapkan dua bulan yang lalu. Sejak pengumuman yang di bacanya melalui tempelan poster di dinding lorong sempit kampusnya. Dengan semangat ia dibantu Budi sahabatnya untuk memegangi karya dengan naik motor bebek empat tak menyusuri jalan berdebu dari kosnya menuju tempat pengumpulan karya yang ditetapkan oleh panitia di kaki Gunung Merapi jalan Kaliurang Km.17.
Siang itu pukul 13.07 jalan Mataram sangat ramai. Kendaraan berlalu-lalang dari dua arah. Riuh suasana menambah penat siang yang terik itu. Ketika sampai perempatan, tiba-tiba entah mengapa dengan sekejap langit menjadi mendung. Awan gelap berduyun datang menyelimuti kota Yogyakarta. Gelap sekali. Petir menyambar disana-sini. Dalam hitungan detik hujan deras tak terelakkan. Semua kendaraan kecil menepi kejalan. Menghindari guyuran deras beserta angin kencang dari langit. Tak terkecuali Tiwito Gores dan karyanya yang bersemangat, beserta sahabatnya Budi harus menepi, cukup lama hujan tak kunjung reda. Karyanya mulai basah, kotor, dan rusak. Dilihatnya jam di tangan kiri, jarum yang pendek sudah menunjukkan angka lima. Dibayangkan jarak menuju tempat pengumpulan yang masih cukup jauh. Mukanya mulai terlihat lesu, diliriknya sahabatnya yang cuma diam membisu. Kehendak pribadinya tak mampu melawan kehendak alam yang berada diluar jangkauan perhitungannya. Angan-angannya untuk lolos seleksi, mempresentasikan karya didepan para juri dan kurator idolanya pupus bersama derasnya air hujan. Diapun pulang dengan rahasia yang masih terpendam. Tanpa diketahui oleh panitia pameran, oleh para juri, oleh peserta pameran, sahabat-sahabatnya, Darmo, Budi, bahkan oleh dirinya sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar